‘Cawe-Cawe’ Prabowo Atas Konflik Rusia Ukraina, Sebuah Tinjauan Teoritis Dari Aspek Nasional Interest
Diterbitkan Selasa, 6 Juni, 2023 by NKRIPOST
‘CAWE-CAWE’ PRABOWO ATAS KONFLIK RUSIA-UKRAINA,
SEBUAH TINJAUAN TEORITIS DARI ASPEK NATIONAL INTEREST
Oleh : Rogger Evantino (Sekjen Lembaga Kajian Organisasi Politik Strategis Nusantara)
Kata cawe-cawe dalam rentang sebulan terakhir ini, menjadi hangat untuk diperbincangkan di ruang publik. Pasalnya, frasa ini kerap dikaitkan dengan sebuah intervensi atau campur tangan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik dalam konteks berbangsa dan bernegara, kontek sosial, apalagi konteks politik.
‘Cawe-cawe’ berasal dari bahasa Jawa yang maknanya kurang lebih adalah ikut serta dalam menangani sesuatu. Secara umum, makna ‘Cawe-Cawe’ itu adalah netral. Penggunaan kata ini biasanya digunakan dalam segala aktivitas. Bisa digunakan untuk pengertian apa saja dalam menangani sebuah permasalahan.
Hampir dalam semua hal atau lebih spesifik lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, konteks penggunaan kata ‘cawe-cawe’ yang tadinya bermakna netral bisa saja berubah. Terutama dalam dunia politik. Tergantung pula sudut pandang dan juga siapa yang berbicara atau melakukannya.
Penulis mencoba mengulas secara gamblang disini, dari aspek ilmu pertahanan tentang makna ‘cawe-cawe’ Manteri Pertahanan Republik Indonesia, Prabowo Subianto yang baru saja dan masih segar diutarakan dalam forum pertemuan para Manteri Pertahanan se-ASEAN bersama Manteri Pertahanan Amerika Serikat. Prabowo bertemu dengan Menhan AS, Lloyd Austin dan Menhan se-ASEAN di sela-sela kegiatan International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue ke-20, di Singapura pada Jumat 2 Juni 2023 kemarin.
Masih teringat dengan jelas, dalam forum yang sama yang dihadiri oleh Prabowo pada setahun yang lalu, dirinya mengemukakan bahwa Indonesia tidak akan pernah mengabaikan sektor pertahanannya dan akan berjuang dengan segala cara untuk mempertahankan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prabowo menegaskan bahwa negara-negara di Asia termasuk Indonesia, perlu belajar dari situasi yang terjadi di Rusia dan Ukraina saat ini.
Hal ini sekaligus menegaskan bahwa pertahanan negara Indonesia, tidak boleh diabaikan. Sejalan dengan strategi pertahanan Indonesia yang menganut sistem defensif, Indonesia harus mempertahankan negara dengan segala cara yang dimiliki.
Dalam pertemuan Menhan AS dan para Manteri Pertahanan se-ASEAN yang dibahas adalah soal keterlibatan multilateral dalam keamanan kawasan regional berdasarkan prinsip-prinsip umum yang diartikulasikan dalam outlook ASEAN tentang Indo-Pasifik dan Strategi Indo-Pasifik AS.
Sejarah mencatat, bahwa gencatan senjata adalah sebuah upaya untuk menghindari konflik atau perang yang memakan korban baik korban jiwa maupun korban materil. Dalam tatanan peradaban dunia, solusi ini biasanya keluar dan diinisiasi oleh Dewan Kemananan PBB yang memang sudah menjadi tugasnya. Dalam konflik Rusia-Ukraina, PBB sepertinya sangat ekstra hati-hati agar bisa membendung amarah Vladimir Putin yang tidak ingin diganggu dan diobok-obok kedaulatan wilayahnya dengan berbagai macam cara dari negara-negara NATO.
Tapi hal yang berbeda kita lihat dalam pertemuan para Manteri Pertahanan AS dan Manteri Pertahanan se-ASEAN ini. Indonesia dapat dikatakan berani untuk ikut ‘cawe-cawe’ terkait konflik Rusia-Ukraina melalui Prabowo Subianto untuk membantu mencari jalan tengah mengakhiri konflik tersebut.
Tak tanggung-tanggung, Prabowo mengeluarkan ide untuk mencari jalan damai atas konflik Rusia dan Ukraina yang masih terus bergejolak hingga saat ini. Solusinya adalah Gencatan Senjata. Sebagian orang mungkin belum memahami betul, apa makna dari Gencatan Senjata tersebut.
Penulis mencoba untuk mengulasnya dari aspek teoritis.
Apa itu Gencatan Senjata :
Gencatan senjata merupakan kesepakatan untuk menghentikan pertikaian terbuka antara dua pihak yang berperang. Syarat gencatan senjata pada umumnya mencakup ruang lingkup, dan durasinya ditentukan oleh kedua belah pihak yang bertikai pada saat dilakukan perundingan. Gencatan senjata bisa menghentikan perang, tetapi tidak ada jaminan untuk mengakhirinya.
Dalam beberapa kasus pertikaian antar negara, gencatan senjata diperlukan untuk menangguhkan perang dalam jangka waktu tertentu, agar pihak yang sedang bertikai dapat merundingkan perjanjian damai untuk secara resmi mengakhiri perang.
Sebagai contoh dalam berakhirnya Perang Dunia I, Jerman yang menyerah terhadap sekutu bukan karena kalah berperang tetapi Jerman mau menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Sekutu pada 11 November 1918. Setelahnya antara Jerman dan Sekutu melakukan serangkaian perjanjian damai yang secara resmi mengakhiri Perang Dunia I, salah satunya adalah Perjanjian Versailles yang disepakati pada 28 Juni 1919. Hingga saat ini setiap tanggal 11 November diperingati sebagai Hari Gencatan Senjata Perang Dunia I.
Contoh berikutnya adalah Perjanjian Gencatan Senjata yang menghentikan Perang Korea, antara Korea Utara dan Korea Selatan. Perjanjian tersebut termasuk kasus yang unik, karena sejak ditandatangani pada 27 Juli 1953, tidak pernah diikuti dengan perjanjian damai hingga saat ini. Sejatinya saat ini Korea Utara dan Korea Selatan masih belum menghasilkan sebuah perjanjian damai, sehingga perang dingin antar kedua negara tetap saja terjadi.
Selain kedua contoh gencatan senjata diatas, beberapa contoh lain adalah perjanjian gencatan senjata antara Rusia dan Blok Sentral pada masa Perang Dunia I (1917), Perjanjian gencatan senjata antara Italia dan Sekutu pada masa Perang Dunia II (1943) dan Indonesia sendiri pernah menjadi pelaku sejarah dalam perjanjian gencatan senjata Indonesia-Belanda pada masa Agresi Militer Belanda I (1947) yaitu Perjanjian Renville.
Perjanjian antara Indonesia dan Belanda ini dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di atas kapal perang Amerika Serikat yang berlabuh di pantai utara Jakarta. Perundingan yang ditengahi oleh Komisi Tiga Negara, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946.
Sikap Politik Luar Negeri Indonesia, Dalam Konflik Rusia-Ukraina Dari Perspektif ‘National Interest’:
Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif tentunya semakin memudahkan keterlibatan Indonesia dalam menjadi juru damai atau memberi solusi untuk mengakhiri konflik kedua negara tersebut. Politik Luar Negeri Indonesia yang termaktub dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan tujuan nasional Indonesia yang artikulasinya adalah memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Dalam konflik Rusia-Ukraina, dampak yang ditimbulkan sangat terasa di tanah air maupun di tingkat global. Sektor perdagangan internasional yang terganggu kemudian berdampak pada inflasi, hingga krisis pangan dan ancaman pada keamanan global. Oleh karena itu Indonesia memutuskan untuk mencari solusi agar dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, sembari terus belajar dan membenahi sektor pertahanan negaranya.
Presiden Joko Widodo telah melakukannya tepat setahun yang lalu. Kepentingan nasional Indonesia dikedepankan dalam mencari jalan damai bagi kedua negara. Indonesia tetap netral dan tidak berpihak kepada siapapun dalam memainkan sikap politiknya, membuat Joko Widodo akhirnya berani untuk menawarkan diri menjadi juru damai dan membawa pesan Zelensky dari Kyiv ke Moskow.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI yang juga rektor Universitas Jenderal Achmad Yani mengatakan bahwa, kunjungan Jokowi ke Ukraina memiliki probabilitas sangat besar untuk mendamaikan kedua negara. Di satu sisi sebenarnya Rusia ingin menghentikan serangan ini.
Namun, tidak akan dihentikan begitu saja karena tidak mau bernasib sama dengan AS saat keluar dari Afghanistan.
Rusia sendiri sangat membutuhkan negara seperti Indonesia sebagai pihak ketiga. Rusia sangat menginginkan kehadiran Indonesia dengan apapun solusinya termasuk pesan dari Zelensky yang dibawa oleh Jokowido ke Presiden Vladimir Putin sepertinya diterima dengan sangat baik.
Kehadiran Indonesia dengan politik bebas aktifnya, membuat Rusia harus menghentikan serangan rudal yang bertubi-tubi ke ibu kota Ukraina selama Presiden Jokowidodo dan Ibu Negara berkunjung.
Hal ini kemudian penulis asumsikan bahwa jaminan keselamatan Presiden Jokowi dan rombongan selama di Ukraina menjadi prioritas bagi Rusia.
Begitu pentingnya Indonesia di mata kedua negara ini rasanya. Indonesia secara konsisten dan lincah memainkan dialektika politik luar negerinya bak penari panggung yang baru pertama kali tampil, namun mampu memikat perhatian penonton, sehingga hubungan antara Indonesia dengan musuh utama Rusia yakni AS dan negara-negara NATO terlihat baik-baik saja dalam berbagai kesempatan dan yang terbaru adalah diberikannya panggung bagi Menhan Prabowo dalam pertemuan Menhan AS Lloyd Austin dan Menhan se-ASEAN di Singapore beberapa hari yang lalu.
Prabowo seolah mau menegaskan bahwa prinsip bebas aktif yang dimaksud bukan berarti mengambil sikap netral-aktif, namun memberikan kontribusi baik dalam bentuk pemikiran maupun bantuan untuk penyelesaian konflik. Prinsip ini tidak indentik dengan sikap netral, melainkan bebas bersikap selama masih dalam satu koridor yang sama dengan kepentingan nasional Indonesia.
Indonesia diposisikan Prabowo bukan cuma sekedar mengikuti sikap negara lain, melainkan upaya untuk menyuarakan pentingnya penghormatan terhadap norma hukum internasional. Indonesia juga terus berupaya mendorong agar penggunaan kekuatan yang mendominasi dihentikan, sehingga dapat menyelesaikan konflik tersebut.
Cawe-Cawe Prabowo, Solusi Gencatan Senjata Rusia-Ukraina Singgung Leadership AS dan China…?? :
Terus terang, Penulis terperangah ketika menyaksikan via Youtube pidato Manteri Pertahanan Republik Indonesia Prabowo Subianto dalam acara International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue ke-20, di Singapura.
Indonesia sepertinya begitu spesial di mata dunia dan ASEAN khususnya para Manteri Pertahanan masing-masing negara. Bayangkan, dengan durasi waktu 30 menit, Prabowo diberi ruang untuk secara gamblang mengemukakan jalan damai yang harus ditempuh oleh kedua negara.
Lima saran Prabowo yang dikemukakan antara lain adalah Gencatan Senjata, Mundurnya kedua pasukan Rusia maupun Ukraina sejauh 15 km, Penerjunan pasukan pemantau oleh PBB sepanjang zona demiliterisasi kedua negara, Komposisi pasukan pemantau PBB yang diisi oleh anggota yang disepakati oleh Rusia dan Ukraina, dan Referendum yang harus dilakukan oleh PBB sebagai gambaran akan keinginan objektif masyarakat di wilayah sengketa.
Sampai disini dulu, Prabowo yang juga merupakan Bakal Calon Presiden 2024 telah membuktikan diri di level internasional, menempatkan Indonesia diperhitungkan di forum-forum internasional. Sama halnya dengan Presiden Jokowidodo yang selalu tampil beda dengan gaya ke-Indonesiaan-nya di setiap event yang melibatkan para pemimpin dunia.
Cerminan bahwa keberlanjutan rezim Joko Widodo tepat disematkan pada sosok Prabowo Subianto, sepertinya tak terbantahkan seiring sejalan dengan sikap sang Presiden maupun sikap Prabowo. Dengan tidak bermaksud untuk berkampanye atau mendegradasi capres lainnya, harus diakui bahwa kemampuan Prabowo, mantan Danjen Kopasus dan mantan Pangkostrad ini bukan kaleng-kaleng dalam konteks geopolitik dan internasional.
Narasi kelas dunia yang disampaikan dalam forum ini kemudian menjadi perhatian utama seluruh dunia. Siapa sih Indonesia..?? Siapa Presidennya..?? Dan siapakah Prabowo Subianto…?? Pertanyaan ini pastinya muncul di benak negara-negara lain terutama NATO dan Rusia maupun Ukraina. Apakah pertanyaan ini harus dijawab…?? Penulis pikir tidak perlu, dan biarkan mereka penasaran.
Prabowo kemudian menyinggung bahwa situasi kemanan di Indo-Pasifik terutama di Asia dan Asia Timur didominasi oleh ketegangan yang meningkat akan kebangkitan China yang diprediksi menjelma menjadi kekuatan terbesar di Dunia dan menyudahi hegemoni AS.
Menurut Prabowo, Amerika Serikat yang mendominasi dalam beberapa dekade terakhir tentu tak akan berdiam diri jika ada kompetitor yang lahir dan punya cikal bakal untuk menggantikannya. Catatan sejarah peradaban bangsa – bangsa mengingatkan bahwa konflik yang sering terjadi merupakan konflik terbuka, konflik genetik dan berpotensi menjadi perang dingin atau perang gaya baru.
Pertentangan-pertentangan apapun sangat berpengaruh dalam melahirkan cara – cara baru. Oleh karena itu leadership dari para pemimpin negara-negara di dunia dituntut untuk dikedepankan dengan pola “Kepemimpinan Yang Bijaksana”.
Peradaban China dan Amerika yang selalu mendominasi dan berpotensi memunculkan konflik di berbagai negara, memberikan peringatan sekaligus kontribusi bagi semua negara di dunia untuk terus bangkit dan melakukan penemuan-penemuan baru yang dapat meningkatkan peradaban manusia.
Namun diatu sisi, para pemimpinnya harus bisa berkompromi dan bekerjasama demi kemanusiaan yang adil dan beradab untuk menyelasaikan perbedaan – perbedaan yang ada. Kunci utamanya adalah Pemimpin Yang Bijaksana dan paham akan Geopolitik.
Kerja sama dan juga kompromi dari para pemimpin dunia untuk menghadirkan tatanan dunia yang damai dan bebas dari pertikaian, bukan hanya sebuah saran yang diucapkan begitu saja.
Prabowo Subianto dan Jokowidodo telah menjadi role model dalam rekonsiliasi pasca Pilpres 2019 yang mengakibatkan keterbelahan yang sangat masif. Berbagai dinamika dan tantangan dapat dilewati Indonesia, terutama penanganan pandemi COVID-19 serta permasalahan lainnya, hendak digambarkan Prabowo untuk dapat dicontohkan oleh dunia.
Sepertinya ego sektoral dan individu seorang pemimpin seperti Prabowo yang bersedia bekerja sama dengan Presiden Joko Widodo patut dicontoh sebagai sikap yang negarawan dan layak menjadi lokomotif paling istimewa untuk menciptakan tatanan dunia yang aman dan damai.
Jika sikap ini dibantah sebagai sebuah sikap yang normatif dari kebanyakan pemimpin, coba beri saya contoh akan sikap dan kepemimpinan para pemimpin atau tokoh Indonesia sebelumnya yang sama dengan sikap Prabowo..?? Bukankah yang lain tak peduli soal pertahanan atau bisa saya katakan tak mampu berpikir secara visioner..?? Mereka hanya bisa berpikir saat perang. Diksi dan narasi mereka menggambarkan demikian. Dalam memanfaatkan masa damai untuk persiapan perang, jujur ilmu mereka tidak sampai.
Mereka tampil dengan klaim paling nasionalis dan dalil kemampuan pandai berkontemplasi. Sadar atau tidak sikap mereka yang tidak mau mengakui kemenangan dalam kompetisi kemudian melahirkan dendam kesumat membara puluhan tahun kepada seorang abdi negara yang dipercaya rakyat secara langsung dalam pemilu silam. Sikap ini terus tumbuh subur dan menjadi tontonan memalukan bagi generasi saat ini.
Lalu apa kepentingan nasional Indonesia..?? Yah, kepentingan kita adalah melahirkan pemimpin yang visioner seperti Joko Widodo dan harus dibarengi dengan pemahaman geopolitik yang mumpuni untuk terus memainkan seni dan peran politik bebas aktif. Tak cukup hanya sekedar berlari atau beretorika belaka, tetapi harus mampu menterjemahkan adagium “Si Vis Pacem Parabellum”. Sejauh ini kira-kira siapa menurut anda…????
Bersambung…………………!!!!!!
BERITA TERKAIT:
Menhan Prabowo Subianto Usulkan PBB Gelar Referendum di Wilayah Sengketa Rusia-Ukraina
(Penulis adalah Alumni GMNI Cabang Yogyakarta, Kandidat Magister Pertahanan pada Fakultas Manajemen Pertahanan, Universitas Pertahanan Republik Indonesia, Putra Asli Maumere – Nusa Tenggara Timur dan Berdomisili di Jakarta).