Menteri Dikti Saintek Satryo Soemantri Brodjonegoro Didemo Pegawainya, Bawa Spanduk Bertuliskan “Bukan Babu Keluarga”, Begini Respon Dr. Iswadi, M.Pd
Diterbitkan Senin, 20 Januari, 2025 by NKRIPOST
NKRIPOST JAKARTA – Pada tanggal 20 Januari 2025, berbagai pemberitaan menghebohkan masyarakat terkait dengan aksi demo yang dilakukan oleh pegawai di bawah Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Kemenristek) Indonesia.
Aksi tersebut melibatkan sejumlah pegawai yang kecewa dengan kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh Menteri Dikti Saintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro.
Tampak para pegawai membawa sejumlah spanduk yang berisi protes terhadap Menteri.
“Kami ASN, dibayar oleh negara, bekerja untuk negara, bukan babu keluarga,” isi spanduk yang dibawa pegawai.
“Institusi negara bukan perusahaan pribadi Satryo dan istri!” isi spanduk lainnya.
Pada spanduk tersebut, terdapat tagar Paguyuban Pegawai Dikti, Menteri Dzalim, dan Lawan! Teladan Pejabat Negara
Dalam situasi ini, Dr. Iswadi, M.Pd., seorang pakar pendidikan yang terkenal, memberikan respon terhadap peristiwa tersebut dengan mencoba menggali lebih dalam tentang akar masalah, dampak yang ditimbulkan, dan solusi yang terbaik. Hal tersebut disampaikan nya kepada wartawan, Senin 20 Januari 2025
Alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut menyatakan bahwa aksi protes yang dilakukan oleh pegawai Kemenristek sebenarnya bukanlah hal yang aneh atau tidak bisa dipahami. Protes adalah bagian dari dinamika yang wajar dalam setiap organisasi atau institusi, terlebih apabila kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinan tidak sesuai dengan harapan atau berdampak buruk pada kesejahteraan pegawai, baik itu dari segi materi, karier, atau bahkan moral.
“Aksi demo ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara kebijakan yang diterapkan dengan kepentingan pegawai yang bersangkutan,” kata Dr. Iswadi.
Menurutnya, dalam konteks kementerian yang bergerak di bidang pendidikan dan riset, setiap kebijakan yang dibuat harus memperhatikan dengan seksama kesejahteraan pegawai sebagai aset utama dalam menjalankan tugas negara. Jika kebijakan itu tidak memberikan dampak positif, bahkan malah menambah beban pegawai, maka reaksi seperti ini menjadi sangat wajar.
Dr. Iswadi juga menyoroti dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari ketidakpuasan pegawai terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil atau merugikan. Dalam pandangannya, jika ketidakpuasan tersebut tidak segera ditangani dengan bijak, maka akan berdampak pada kinerja pegawai itu sendiri.
“Sebagai contoh, pegawai yang merasa diabaikan atau tidak dihargai akan kehilangan motivasi dalam bekerja. Mereka mungkin merasa tertekan, apatis, dan bahkan bisa berujung pada tingkat produktivitas yang rendah, yang tentunya akan mempengaruhi kualitas layanan yang diberikan oleh Kemenristek kepada masyarakat.” Tuturnya.
“Salah satu efek yang paling jelas dari ketidakpuasan adalah menurunnya semangat kerja pegawai. Jika mereka merasa kebijakan yang diterapkan merugikan mereka, maka mereka tidak akan bekerja dengan sepenuh hati. Padahal, dalam sektor pendidikan dan riset, kualitas kerja sangat tergantung pada dedikasi dan semangat para pegawainya,” Tambahnya.
BACA JUGA:
Dr. Iswadi juga memberikan ulasan terkait kebijakan yang diterapkan oleh Menteri Dikti Saintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro. Menurutnya, dalam sebuah sistem pemerintahan, seorang menteri harus memiliki visi yang jelas, mengerti dinamika internal organisasi yang dipimpinnya, serta mampu memanage hubungan dengan para pegawainya. Kebijakan yang dikeluarkan harus mampu memotivasi dan mendukung pegawai untuk bekerja lebih baik, bukan malah menciptakan ketegangan atau ketidakpuasan di kalangan mereka.
“Ada kemungkinan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Dikti Saintek ini kurang memperhatikan aspek kesejahteraan dan kebutuhan dasar pegawai. Sebagai menteri, beliau perlu melakukan evaluasi lebih dalam mengenai kebijakan yang diterapkan, apakah sudah menyentuh kebutuhan riil pegawai atau justru membuat mereka merasa terabaikan,” ungkap Dr. Iswadi.
Dalam pandangannya, salah satu kelemahan dalam kebijakan yang diterapkan terkadang adalah tidak adanya komunikasi yang baik antara pimpinan dan pegawai. Apabila menteri tidak cukup mendengarkan keluhan atau masukan dari pegawai, kebijakan yang diterapkan bisa jadi tidak mencerminkan realitas yang ada di lapangan.
Sebagai seorang praktisi, Dr. Iswadi juga memberikan beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan untuk meredakan ketegangan dan mencegah dampak negatif dari ketidakpuasan pegawai.
Pertama, beliau menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka antara pimpinan dan pegawai. Seorang pemimpin harus mampu mendengarkan keluhan dan masukan dari bawahannya, serta memperhatikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Sebuah forum dialog yang konstruktif dapat menjadi langkah pertama untuk meredakan ketegangan ini.
“Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang bisa diimplementasikan dengan melibatkan semua pihak. Tidak hanya dari sisi pemimpin, tapi juga dari pegawai. Dengan melakukan komunikasi yang terbuka, maka masalah bisa ditemukan solusinya secara bersama-sama,” ujarnya.
Kedua, Dr. Iswadi juga menyarankan agar dilakukan evaluasi terhadap kebijakan yang dikeluarkan, dengan melibatkan tim yang memiliki pemahaman yang mendalam mengenai keadaan riil di lapangan. Jika kebijakan tersebut terbukti merugikan pegawai, maka harus ada ruang untuk perubahan atau penyesuaian agar bisa lebih menguntungkan bagi semua pihak.
Dr. Iswadi menegaskan bahwa peristiwa demo yang terjadi ini bukanlah hal yang harus dipandang negatif semata. Ini adalah bentuk aspirasi yang bisa menjadi bahan introspeksi bagi semua pihak, termasuk Menteri Dikti Saintek Satryo Soemantri Brodjonegoro.
“Ke depannya, penting bagi semua pihak untuk bekerja sama, menjaga komunikasi yang baik, dan memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak hanya bermanfaat bagi lembaga, tetapi juga bagi kesejahteraan pegawai yang menjadi ujung tombak dalam implementasi kebijakan tersebut. Hanya dengan begitu, kita dapat memastikan kemajuan dan keberlanjutan dalam sektor pendidikan dan riset di Indonesia. ” pungkas Dr. Iswadi, M.Pd.***