Dekorasi Demokrasi Pasca Pilkada
Diterbitkan Senin, 23 Desember, 2024 by NKRIPOST
Dekorasi Demokrasi Pasca Pilkada
Oleh: Nardi Maruapey
Jika dilihat secara seksama bahwa banyak dari kita masih salah memahami perihal makna dan substansi demokrasi. Masih ada anggapan bahwa demokrasi itu berarti pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin, di mana rakyat memiliki kebebasan dalam memberikan haknya atau pilihannya. Setelah itu demokrasi selesai. Jadi, yang dipahami adalah demokrasi hanya momentum politik lima tahunan.
Pemahaman tentang demokrasi yang tidak komprehensif dan mendalam seperti ini dapat menjadi faktor dari kemunduran kualitas demokrasi itu sendiri. Hal yang sering terlihat juga adalah peran dan posisi rakyat saat momentum pilkada itu seakan terpinggirkan, bahwa rakyat hanya menjadi pemilih saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Rakyat mengalami demobilisasi dimana mereka hanya diperlukan suaranya agar datang ke tiap-tiap TPS (tempat pemungutan suara) untuk mencoblos calon kepala daerah. Rakyat tidak menjadi subjek dalam demokrasi, tapi sekedar objek demokrasi.
Demokrasi harus dimaknai sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti. Demokrasi itu tidak “statis”, tetapi dia “dinamis”. Terus bergerak dengan konteks atau situasi yang sedang terjadi dalam segala aspek; politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lain-lain. Artinya, pemilu ataupun pilkada itu hanya bagian kecil dari proses demokrasi yang tidak bisa berhenti itu.
Tulisan ini adalah bagian dari pertanyaan kritis untuk melihat agenda pilkada terkhusus yang ada di Maluku serta di beberapa daerah-daerahnya bahwa setelah (pasca) pilkada dilakukan untuk memilih kepala atau pemimpin daerah, lalu apa? Apakah hanya berhenti sampai di situ sajakah? Sebab banyak tiba-tiba menjadi amnesia setelah keluar sebagai pemenang pilkada. Dan yang kalah pun bahkan tidak tahu harus berbuat apa.
BACA JUGA:
Konsep dan Teori Basic Structur Sebagai Solusi di Pilkada Maluku
Ketum Bina Bangun Bangsa Nur Ridwan Buka Suara Soal Kejati Geledah Dinas Kebudayaan DKI Jakarta
Miris!! Pelayanan RSUD Sijunjung Dinilai Sangat Buruk, Tolak Layani Pasien BPJS
Pasca Pilkada
Dalam masa pemilihan kepala daerah, selain sosok dan biodata calon dan atau pasangan calon diendors sedemikian rupa untuk mengambil simpati dan mempengaruhi pemilih, ada juga banyak argumentasi yang dibangun untuk membungkus sekian visi misi, program, serta tujuan mengapa sampai mencalonkan diri sebagai pimpinan daerah. Begitulah demokrasi mestinya bekerja, yakni untuk menghasilkan berbagai macam ide dan gagasan lewat diskusi perdebatan. Democracy is the beatle of argumen.
Tetapi, yang paling terpenting dari itu semua adalah bagaimana visi misi, program, serta tujuan mengapa sampai mencalonkan diri sebagai pimpinan daerah dapat teraktualisasikan secara nyata sekaligus berkelanjutan dalam mencapai pembangunan yang berkemajuan. Sebab, suatu teori tidak ada gunanya kalau tidak dipraktekkan. Bagi calon kepala daerah yang sudah terpilih menjadi kepala daerah wajib menjalankan pemerintahan yang good governance untuk kepentingan bersama sebagaimana perintah konstitusi negara dan amanat rakyat.
Dalam konteks pemenuhan kepentingan bersama ini, mereka yang diberi mandat, kemudian disebut pemerintah, bertugas menyelenggarakan pemerintahan dengan memberikan pelayanan publik kepada masyarakat atau individu-individu yang memberikan mandat itu. Secara umum, yang dimaksud dengan perjanjian sosial antar masyarakat dengan negara di dalamnya persoalan, seperti kesejahteraan, keamanan, dan lainnya, yang itu harus dijamin negara (pemerintah) kepada masyarakatnya. Tujuan di atas tentu sekali lagi sangat senafas dengan esensi berdemokrasi, relasi negara dan rakyat dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (good government) dan pemberian pelayanan publik yang baik dan memperhatikan nilai-nilai integritas bagi semua orang yang memberinya mandat tersebut (Maruapey, 2023).
Pilkada sebagai ruang paling terbuka untuk seluruh rakyat di tingkat lokal berkesempatan dan mengambil peran dalam menentukan pergantian kekuasaan. Pilkada menghendaki adanya pergantian (sirkulasi) kekuasaan melalui rakyat yang memiliki daulat tertinggi dalam negara demokrasi. Tetapi sekali lagi, daulat rakyat tidak hanya sebatas di momentum pemilu ataupun pilkada saja. Daulat rakyat itu dia berjalan tanpa henti sebagaimana prinsip lama Abraham Lincoln tentang demokrasi yakni “dari, oleh dan untuk rakyat” selama masih adanya negara.
Seorang Yudi Latif mengistilahkan dengan politik responsif, dimana politik yang responsif senantiasa menyadari bahwa politik bukan sekedar proyek perebutan kekuasaan lewat rutinitas pemilu. Politik responsif adalah politik yang menyadari peran transformatif kekuasaan dalam merealisasikan visi dan misi negara dalam mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesewenang-wenangan mengambil kebijakan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat atas pemerintahan.
Demokrasi merupakan suatu sistem dalam penyelenggaraan negara yang utuh. Melingkupi seluruh sendi dan aspek kehidupan sosial masyarakat, bangsa dan negara. Pada konteks demikian, demokrasi harus dipahami sebagai jalan panjang mewujudkan prinsip keadilan bagi masyarakat dan daerah. Dari situlah cara yang paling substansial dalam memperbaiki kualitas demokrasi. Sebab apa yang menjadi agenda utama pasca pilkada?
Pilkada menjadi titik balik dari masa transisi menuju transformasi sosial untuk pembangunan berkelanjutan. Beberapa agenda pasca pilkada adalah mendekorasi ulang demokrasi menuju demokrasi berkualitas. Mendekorasi demokrasi sama dengan mempercantik suasan berdemokrasi agar indah dilihat. Dengan cara apa? Arie Sujito (2022) menjawabnya dengan cara menggerakkan komponen demokrasi dengan landasan nilai keadaban, kemartabatan, keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan dalam mengelola kekuasaan, baik di aras negara maupun yang lebih penting masyarakat sipil untuk pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara. Landasan kebijakan yang tepat sesuai konstitusi, perlu terus menerus diorientasikan pada pencapaian keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan bangsa. Demokrasi yang menyejahterakan berarti memberi makna demokrasi pada kehidupan masyarakat yang lebih bermartabat. Hal demikian tidak mungkin tanpa keberdayaan civil society, yakni mampu memanfaatkan perubahan dan kebebasan untuk membangun kemaslahatan bersama. Tantangan yang harus dijawab dan diprioritaskan adalah membangun ruang publik yang sehat, kebebasan yang bermakna bagi sistem demokrasi yang berkualitas, terutama untuk memenuhi kebutuhan sebagai bangsa, masyarakat, dan negara.
Pemimpin Ideal
Pada sistem negara demokrasi dan penyelenggaraan negara oleh pemerintah yang good governance itu sangat berakar dari bagaimana peran seorang leader (pemimpin) yang tentunya harus memiliki spirit leadership yang kuat. Karena sebagai pemimpin daerah, dialah yang menjadi organ paling vital untuk bisa menggerakkan pemerintahan. Gerak pemerintahan bersumber dari pikiran dan ide besarnya, terutama yang sudah terkonsepkan dalam program dan visi misi saat kampanye berlangsung.
Memahami realitas daerah utamanya masalah sosial juga menjadi poin penting pula bagi kepala/pemimpin daerah supaya dengan mudah melakukan langkah-langkah politik dan strategis untuk lima tahun ke depan. Gumpalan masalah sosial kerap kali selalu menyelinap dibalik momentum politik nasional maupun lokal, berproses kontraproduktif dan sangat memprihatinkan. Dan tidak ada tawar menawar untuk masalah-masalah itu, harus diatasi sebagamaina mestinya.
Sebut saja misalnya masalah kemiskinan; kasus-kasus korupsi; problem penegakan hukum dan agenda keadilan; pembengkakan dan penebalan sentimen identitas yang menjadi potensi disintegrasi sosial; juga gejolak konflik dan kekerasan berantai yang tidak berkesudahan. Problem struktural seperti kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan memang masih menjadi beban negeri ini, menjadi akar masalah dari komplikasi praktik kehidupan di level tata kekuasaan politik dan ekonomi, hukum, dan bermasyarakat.
Jika selama masa kekuasaan dan sekaligus kepemimpinan politik selama lima tahun tidak mampu menyelesaikan masalah sosial di atas, tapi malah sebaliknya membuat masalah-masalah itu semakin tinggi menggunung. Maka dapat dipastikan bahwa kekuasaan itu dapat dipastikan tidak akan bertahan untuk waktu-waktu yang lain. Sebab rakyat selalu punya sense of kritis terhadap kekuasaan. Kepala daerah hasil pilkada tidak boleh menyimpang, berlaku sewenang-wenang, apalagi korup, karena itu akar dari malapetaka demokrasi.***