Sosialisasikan UU Cipta Kerja, Pemerintah Bentuk Tim Independen
Diterbitkan Jumat, 27 November, 2020 by NKRIPOST
Nkripost, Bali – Menindaklanjuti pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah saat ini tengah menyusun aturan pelaksanaan berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.
Dalam proses penyusunan ini, pemerintah berkeinginan untuk menyerap aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan dengan harapan RPP ini nantinya mampu mengakomodasi seluruh aspirasi dan menampung seluruh masukan dari pelaku usaha dan masyarakat.
Atas dasar tujuan itu, Pemerintah membentuk tim independen yang akan berkunjung ke beberapa kota untuk menyerap masukan, tanggapan, dan usulan dari masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan terkait RPP dan RPerpres UU Cipta Kerja.
“Selain untuk sosialisasi, kegiatan ini merupakan wadah untuk menyerap aspirasi dari pihak yang berkepentingan/stakeholder, untuk bisa mempertajam pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja. Jadi ini bertujuan untuk menyerap aspirasi masyarakat namun tidak melampaui kewenangan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja,” Ujar Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir, saat membuka sesi pertama dalam kegiatan Serap Aspirasi UU Cipta Kerja pada Jumat (27/11) di Bali.
Sebelumnya telah dilaksanakan kegiatan Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja di Jakarta yang membahas terkait sektor perpajakan, juga di Palembang yang membahas sektor Penataan Ruang, Pertanahan, dan Proyek Strategis Nasional (PSN). Kegiatan yang digelar kali ini mengangkat sektor Pajak dan Retribusi Daerah, Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta Ketenagakerjaan.
UU Cipta Kerja mendorong penciptaan lapangan kerja dan memudahkan pembukaan usaha baru sekaligus memulihkan perekonomian pasca pandemi. “UU Cipta Kerja ini dimaksudkan untuk kemudahan berusaha, untuk mempermudah iklim investasi, dan membantu percepatan UMKM dengan mempersingkat perijinan, maka yang kita bahas adalah koridor dalam pelaksanaannya,” tambah Iskandar.
Krisis merupakan momentum revolusi penerapan hal-hal baru di kemudian hari. Momentum dari Covid ini seharusnya kita jadikan lompatan besar yang kita ingin capai kedepan. Penerapan UU Cipta Kerja ini dapat dimanfaaatkan sebagai momentum agar kita bisa melompat ke depan untuk menjadi negara yang maju.
“Menurut world bank, ini merupakan reformasi positif di sektor birokrasi, di sektor ease of doing business yang sangat progresif dalam 40 tahun terakhir sejarah Indonesia,” pungkas Iskandar. UU Cipta kerja akan mampu meningkatkan perdagangan dengan membuat Impor-Ekspor lebih mudah.
UU ini sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan-tantangan perekonomian. Contohnya, saving investment gap kita negatif, artinya tabungan kita lebih rendah dari investasi yang dilakukan selama ini. Untuk membantu negeri ini kita butuh investasi. Karena terbatas saving di dalam negeri, maka kita sangat membutuhkan penanaman modal asing.
Di Indonesia telah terjadi hiper-regulasi, paling tidak terdapat 43.604 regulasi di tingkat pusat dan daerah yang mengatur perihal perizinan berusaha. Dengan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) sebesar 6.8 di Indonesia, dapat terlihat bahwa investasi di Indonesia terbilang mahal. Hal tersebut terjadi karena adanya proses perizinan yang berbelit-belit. Dengan adanya UU Cipta Kerja ini, perizinan tersebut akan dipangkas, sehingga nanti akan lebih cepat dan mudah.
Saat ini terdapat sebanyak 40 RPP dan 4 RPerpres yang menjadi peraturan pelaksanaan bagi UU Cipta Kerja. Salah satu yang juga menjadi topik utama hari ini adalah RPP Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Adapun pokok-pokok pengaturan RPP PDRD antara lain penyesuaian tarif pajak dan retribusi oleh Pemerintah Pusat, pengawasan pajak dan retribusi, serta dukungan Pemerintah Pusat dan kualitas pelayanan Pemerintah Daerah.
Tujuan dari pengaturan ini yaitu mendukung Ease Of Doing Business, memperkuat penyelarasan kebijakan pajak antara pemerintah pusat dan daerah, mendukung pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, meningkatkan daya saing daerah, serta mendorong Compliance Pemda dalam penyusunan pajak dan retribusi daerah.
Terdapat 5 pengaturan kebijakan PDRD yang ada dalam UU Cipta Kerja, yakni penghapusan retribusi izin gangguan, penyesuaian tarif yang dilakukan secara selektif, pemberian insentif fiskal oleh daerah, perbaikan mekanisme evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan pengawasan Peraturan Daerah, dan pemberian sanksi.
Pada sesi kedua, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Mohammad Rudy Salahuddin, menyampaikan bahwa dari 64,19 juta UMK-M, 64,13 juta adalah UMK yang sebagian besar berada di sektor informal, sehingga perlu didorong untuk bertransformasi menjadi formal.
“Dengan kemudahan perizinan berusaha di daerah, kemudahan berusaha bagi masyarakat, insentif dan fasilitas bagi UMK dan Koperasi, serta dengan menjamin perlindungan kepada pekerja/buruh, diharapkan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan pemerataan pembangunan daerah,” ujar Rudy.
Rudy juga menyampaikan bahwa selain bertujuan menciptakan lapangan kerja dan kewirausahaan melalui kemudahan berusaha, UU Cipta kerja ini juga menjamin hak-hak pekerja melalui perlindungan pekerja, antara lain: Upah Minimum (UM) tetap ada; Uang pesangon tetap ada; Tidak ada perubahan sistem penetapan upah, upah bisa dihitung berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil; Hak cuti tetap ada; Perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak; Jaminan sosial tetap ada, bahkan ditambahkan dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan; Status karyawan tetap masih ada; Tenaga kerja asing tidak bebas masuk, harus memenuhi syarat dan peraturan; dan Outsourcing ke perusahaan alih daya tetap dimungkinan. Pekerja menjadi karyawan dari perusahaan alih daya.
Substansi dalam klaster kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan UMK-M diatur dalam pasal 86 hingga pasal 104. Adapun regulasi-regulasi yang diubah adalah UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM, dan UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Dalam substansi perubahan UU tentang UMKM, ada beberapa kriteria yang diatur antara lain Kriteria UMKM, Pembiayaan bagi UMKM, serta Kemitraan. Juga ada pengaturan baru terkait basis data tunggal, pengelolaan terpadu UMK, inkubasi, pengaturan tambahan terkait kemitraan, serta partisipasi UMK dan koperasi pada infrasruktur publik.
Dalam klaster ketenagakerjaan, pokok-pokok yang diatur mencakup Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alilh daya/Outsourcing, Upah Minimum, Tenaga Kerja Asing, PHK dan Pesangon, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), serta waktu kerja dan waktu istirahat.
Rudy menambahkan, “Untuk aturan turunan klaster ketenagakerjaan, nantinya akan ada 4 RPP yakni RPP Penggunaan TKA, RPP Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan waktu Istirahat serta Pemutusan hubungan Kerja, RPP Pengupahan, dan RPP Penyelenggaraan JKP.”
Menutup keynote speechnya, Rudy juga menyampaikan, “Draft RPP ini nantinya juga membutuhkan masukan-masukan dari masyarakat, oleh sebab itu kami membuat acara ini untuk mendapat saran dan masukan dari Bapak Ibu sekalian. Tidak terbatas pada akademisi, asosiasi, pelaku usaha dan masyarakat umum untuk menyempurnakan rumusan norma-norma dalam RPP tersebut agar dapat diimplementasikan dengan baik oleh masyarakat dan mampu mendorong perubahan yang lebih baik.”
Disamping melaksanakan kegiatan sosialisasi di berbagai kota, pemerintah juga membuka ruang kepada publik untuk memberikan masukan secara langsung melalui portal UU Cipta Kerja (uu-ciptakerja.go.id). (ekon)