NKRIPOST

NKRIPOST – VOX POPULI PRO PATRIA

Jasa Gandhi bagi perjuangan Turki

WhatsAppTelegramTwitterEmailFacebook
Listen to this article

Mahatma Gandhi. (Foto file – Anadolu Agency)

Jasa Gandhi bagi perjuangan Turki
Pada malam peringatan pembunuhan Mahatma Gandhi, para cendekiawan mengenang dukungan tokoh dunia dari India itu bagi perang kemerdekaan Turki
Pizaro Gozali Idrus | (31/01/2021)
.

ANKARA
Iftikhar Gilani

Ankara-Saat dunia memperingati 73 tahun pembunuhan Mahatma Gandhi pada Sabtu, para ahli mengenang peristiwa di Turki seabad lalu yang membantu dan membentuk kepemimpinan tokoh yang dihormati dunia itu di India.

Segera setelah kembali dari Afrika Selatan pada tahun 1915, dilatari perang Balkan dan upaya kekuatan kolonial untuk membagi-bagi wilayah Turki setelah Perang Dunia I, Gandhi meluncurkan gerakan non-kerja sama (non koperasi) untuk melawan pemerintah Inggris di India.

Menurut penulis R. K. Sinha, program non-kerja sama Gandhi diadopsi pada pertemuan Komite Khilafat di Mumbai pada Mei 1920.

“Segera setelah pertemuan tertutup ini, Gandhi melakukan perjalanan untuk mengumpulkan orang-orang di belakang perjuangan Turki,” kata dia.

Dalam bukunya, The Turkish Question Mustafa Kemal dan Mahatma Gandhi, Sinha menegaskan gerakan membantu Turki juga merupakan momen persaudaraan bersejarah antara umat Hindu dan Muslim di India.

Dalam sebuah surat kepada Raja Muda Inggris Lord Chelmsford, Gandhi memprotes perlakuan Inggris terhadap Turki dan memperingatkannya bahwa kebijakan non-kerja sama akan meningkat setelah 1 Agustus 1920 jika Perjanjian Sevres diterapkan.

Tetapi Sekutu Perang Dunia I tetap melanjutkan dan memaksa Kekaisaran Ottoman untuk menandatangani perjanjian pada 19 Agustus 1920 dan menyerahkan sebagian besar wilayah Turki ke Prancis, Inggris, Yunani, dan Italia.

Mereka juga membangun zona pendudukan besar di dalam Ottoman.

Atas seruan Gandhi dan aktivis Muslim India Maulana Mohammad Ali Jouhar, orang-orang mengembalikan gelar yang diberikan pemerintah kepada mereka dan mulai memboikot barang-barang asing.

Dalam Young India edisi Juni 1921, jurnal mingguan berbahasa Inggris yang diterbitkan 1919-1931, Gandhi mengimbau umat Hindu bergabung dengan gerakan menentang penyerahan wilayah Turki.

“India belum siap hari ini, tetapi jika kita bersedia menggagalkan setiap plot yang ditujukan untuk menghancurkan Turki atau memperpanjang penyerahan kita, kita harus memastikan agenda non kekerasan yang mencerahkan secepat mungkin, bukan non-kekerasan dari yang lemah tapi non-kekerasan dari yang kuat, yang akan merendahkan pembunuhan tapi dengan senang hati siap mati untuk membela kebenaran,” tulis Gandhi.

Menurut Muhammad Naeem Qureshi dari School of Oriental and African Studies, University of London, Gandhi menjelaskan kepada raja muda Inggris bahwa dia, sebagai seorang Hindu, tidak bisa abai terhadap perjuangan umat Islam, yang sangat terluka karena pembagian wilayah Turki.

“Duka mereka (Muslim), pasti duka kami,” tambah dia.

Gandhi menolak mencabut gerakan non-kerja sama

Pada 23 November 1919, pada sesi pertama Konferensi Khilafat Seluruh India di Delhi di hadapan Gandhi, sebuah resolusi disahkan untuk memboikot perdamaian dan berakhirnya perhelatan Perang Dunia I.

Hasil penting lainnya dari pertemuan ini adalah terbentuknya Jamiat-ul-Ulama-i-Hind, sebuah badan politik-agama dari para ulama yang kemudian berperan penting sebagai sekutu Kongres.

Menurut catatan Pandit Madan Mohan Malaviya, Gandhi diminta menangguhkan kampanye sampai anggota Kongres lainnya ikut duduk dan membahasnya. Namun Gandhi menolaknya.

“Non-kerja sama telah menjadi kewajiban agama dan tidak bisa menunggu keputusan Kongres. Dalam masalah hati nurani, hukum mayoritas tidak memiliki tempat,” kata Gandhi.

Sejarawan percaya bahwa gerakan membantu Turki ini memberi pengaruh yang tidak bisa dihapuskan dalam politik India.

Itu adalah satu-satunya gerakan pan-Asia Selatan yang direspons oleh orang-orang yang melintasi batas afiliasi agama dan melibatkan Punjab, Sind, Perbatasan, Bombay, Bengal, dan Uttar Pradesh.

Pada pertemuan yang diadakan di Masjid Sonapur di Mumbai pada tahun 1919, Gandhi mengusulkan persatuan Hindu-Muslim untuk memperjuangkan Turki sebagai negara yang berdaulat.

Dia juga meminta umat Islam untuk mengangkat kasus mereka di hadapan dunia dengan tegas, tanpa gentar, namun tetap damai.

Pada 24 Juli 1923, Perjanjian Lausanne ditandatangani untuk kepentingan rakyat Turki.

“Perjanjian ini adalah dokumen yang mengungkapkan kegagalan terakhir dari plot melawan Turki, plot yang dibuat seabad yang lalu, plot yang akan berhasil dengan Perjanjian Sevres. Ini adalah kemenangan diplomatik yang tidak tercatat dalam sejarah Ottoman,” kata Mustafa Kemal Ataturk, bapak pendiri Republik Turki.

Menurut Benazir Banu, seorang sarjana di Jamia Millia Islamia, sebuah universitas pusat yang berbasis di Delhi, Perjanjian Lausanne adalah hasil dari senjata Turki yang didorong oleh dukungan moral yang diberikan oleh Gandhi, yang pada saat itu berada di penjara Inggris.

Plot pembunuhan

Tapi tepat 24 tahun kemudian, hanya enam bulan setelah kemerdekaan India, aktivis non-kekerasan dan perdamaian itu dibunuh oleh kelompok Hindu.

Berbicara kepada Anadolu Agency, jurnalis dan penulis Vivek Shukla, yang telah banyak menulis tentang Gandhi di Delhi, mengatakan hanya tiga hari sebelum pembunuhannya, Gandhi mengunjungi dargah atau tempat berdoa di makam Sufi Turki Saint Khwaja Bakhtiyar Kaki (1173-1235 M).

Ribuan Muslim berlindung di dalam dargah, menunggu untuk diangkut ke Pakistan.

“Dia meminta umat Islam untuk tetap tinggal di India dan meminta Perdana Menteri Jawaharlal Nehru untuk memperbaiki dargah,” kata Shukla.

Pada 30 Januari 1948, pada pertemuan doa di kompleks Birla House di New Delhi, Nathuram Godse, anggota partai ultra-nasionalis Hindu Mahasabha dan bekas anggota organisasi pelindung nasionalis Hindu Rashtriya Swayamsevak Sangh, menembak mati Gandhi.

Godse ditangkap oleh kerumunan di dekatnya dan diserahkan ke polisi.

Total, sembilan orang – termasuk pemimpin nasionalis Hindu terkemuka Vinayak Damodar Savarkar – ditangkap karena berkomplot dalam pembunuhan tersebut.

Savarkar dituduh sebagai dalang di balik plot tersebut. Ironisnya, dia telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah saat ini yang dipimpin oleh Perdana Menteri Narendra Modi.

Pada November 1949, pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Godse dan komplotannya Narayan Apte.

Menurut sejarawan A.G Noorani, Savarkar dibebaskan hanya karena alasan teknis.

Ironisnya, potret Savarkar menghiasi dinding Aula Pusat Parlemen India di samping lukisan Gandhi.

Komisi Keadilan Jivanlal Kapur, yang menyelidiki konspirasi di balik pembunuhan itu, menemukan bahwa kaum nasionalis Hindu menentang perlawanan Gandhi terhadap keputusan pemerintah India yang menahan pembayaran 550 juta rupee ($ 7,5 juta) ke saldo kas Pakistan pada saat itu.

Mengutip para saksi, laporan komisi tersebut menyatakan bahwa Gubernur Jenderal Lord Mountbatten juga telah memberikan tekanan moral pada Gandhi untuk mendorong pemerintah Nehru melakukan pembayaran ke Pakistan karena menodai nama dan kehormatan India.

Upaya pertama membunuh Gandhi dilakukan pada 20 Januari 1948, ketika Madanlal Pahwa melemparkan bom pada pertemuan doa. Dia ditangkap di tempat, sementara tiga anggotanya melarikan diri.

Insiden itu cukup bagi polisi untuk mengungkap konspirasi dan meningkatkan perlindungan kepada Gandhi, tetapi dia justru ditembak mati oleh Godse di tempat yang sama pada 30 Januari 1948 saat melanjutkan ke pertemuan doa.

Investigasi kemudian menyimpulkan bahwa dia adalah kaki tangan Pahwa sepuluh hari sebelumnya, ketika mencoba melemparkan bom ke Gandhi, yang meleset dari target.

Pengarusutamaan pembunuh Gandhi

Sejarawan di India sekarang khawatir bahwa para pembunuh Gandhi, yang telah ditolak dan diisolasi selama 70 tahun terakhir dan didorong ke pinggiran, sekarang diperlakukan sebagai sekte dan aliran utama di India.

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai upaya dilakukan nasionalis Hindu untuk menghormati Godse, dengan menyebutnya sebagai seorang patriot yang disalahpahami.

“Kultus Nathuram Godse tidak lebih marjinal; tapi menjadi arus utama,” kata Ramachandra Guha, penulis biografi Gandhi.

Dia takut karena berabad-abad yang lalu India mengesampingkan ajaran Buddha karena penentangan mereka terhadap ketidaksetaraan sosial, sekarang banyak orang India ingin menyingkirkan Gandhi karena gagasannya tentang harmoni antaragama.

“Mungkin kita harus membiarkan seluruh dunia memiliki dan menegaskan Gandhi, sama seperti mereka telah memiliki dan meneguhkan Buddha,” tulisnya di blognya di http://ramachandraguha.in.

WhatsAppTelegramTwitterEmailFacebook

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *