Inikah Negara Yang Berideologikan Pancasila
Diterbitkan Kamis, 30 September, 2021 by NKRIPOST
NKRI POST – Indonesia dikenal negeri yang elok, ramah, kekeluargaan dan penuh peradaban yang digandrungi oleh negara-negara di seantero dunia.
Banyak bangsa-bangsa kagum akan adat budaya Indonesia, dan mereka berbondong-bondong datang untuk sekedar berwisata bahkan ada juga yang datang untuk mendalami serta mempelajari adat budaya Indonesia dengan segala keramahtamahannya.
Namun hal tersebut tidak bertahan lama seiring perubahan zaman dan seiring perubahan perilaku politik dari demokrasi terpimpin era Presiden Sukarno, masuk pada otoriteristik dan militeristik era Presiden Suharto, masuk pada reformasi era Presiden Habibie, Presiden Adurahman Wahid serta Presiden Megawati Sukarno Putri, kemudian masuk pada Demokrasi & Liberalistik era Presiden SBY.
Saat ini Indonesia sejak 2014 sampai menjelang tutup tahun 2020 kembali menapaki sejarah dan kembali masuk dalam campuran era demokrasi terpimpin, otoriteristik dan militeristik serta liberalistik.
Perilaku demokrasi terpimpin dengan perilaku otoriteristik-militeristik dan liberalistik didaur ulang menjadi satu konsep kepemimpinan nasional yang dibungkus dengan slogan Indonesia Negara Hukum.
Namun apakah betul Indonesia saat ini negara hukum ? Dan hukum yang bagaimanakah yang menjadi konsep penegakan hukum di Indonesia ?
Bila kita melihat terbuka lebarnya pintu demokrasi dan liberalisasi sejak abad 20 hingga abad 21 ini, maka pengaruh-pengaruh global begitu deras mengalir masuk ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia, pengaruh positif maupun negatif bercampur menjadi satu dan mempengaruhi kehidupan sosial, budaya, politik dari bangsa dan rakyat Indonesia.
Individualistik kekuasaan bergandengan dengan konglomerasi kekuasaan begitu mendominasi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Negara sudah tidak lagi memposisikan diri sebagai suatu persekutuan kehidupan rakyat yang berdaulat, namun negara sudah diposisikan sebagai kedaulatan individu dan konglomerasi yang berdaulat.
Mereka yang dahulu tidak mendapat “kue kekuasaan” serta “kue politik” ketika era orde baru dan orde reformasi, kini menjadi “gila” dan “rakus” berebut “kue kekuasaan” dan “kue politik”, bahkan rela menjadi “hamba kekuasaan” dan “hamba politik” hanya untuk mendapatkan “kepuasan nafsu” kekuasaan serta menjadi “hamba uang”.
Dari sinilah mulai babak baru kekacauan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berbudaya ramah dan santun, menjadi kehidupan yang penuh kebencian, dengki, iri hati, sombong, angkuh, balas dendam dan sewenang-wenang, serta brutal.
Hukum sudah tidak lagi ditaati, Pancasila hanya sebatas slogan pernyataan dari mulut dan bibir penuh dusta, fitnah, kebohongan dan kemunafikan, mereka berteriak “saya Pancasila, saya Indonesia” hanya suara dari mulut dan bibir kemunafikan untuk melegalkan kesewenang-wenangan, penindasan dan perilaku biadab lainnya yang membuat kegaduhan, kekacauan, dan memecah belah persatuan.
Keberpihakan dan penghambaan pada penguasa demi jabatan membuat mereka lupa esensi dari kekuasaan itu sendiri yaitu untuk mengatur dan mensejahterakan rakyat.
Indonesia mempunyai konstitusi yang kuat berupa UUD 1945 yang diakui dunia sebagai konstitusi yang paling lengkap yang mengadopsi semua kepentingan kehidupan manusia baik itu ideologi, kenegaraan, hukum, sosial kemasyarakatan, keagamaan, hak azasi manusia, hukum, ekonomi, kebudayaan, sampai pada pertahanan keamanan.
Namun UUD 1945 saat ini hanya sebagai buku alas kepala ketika akan tidur.
Indonesia sebagai negara yang mempunyai ideologi dan karakter kebangsaan yaitu Pancasila yang menjadi dasar negara serta pedoman dalam perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sudah menjadi konsensus nasional sebagai “Sumber dari segala sumber hukum negara” yang berlaku di Indonesia.
Bahkan sila ke-1 sampai dengan sila ke-5 dari Pancasila merupakan perpaduan azas ketaatan manusia Indonesia pada kekuasaan Tuhan serta kedaulatan rakyat dan kekuasaan negara bukan kekuasaan pemerintah, karena pemerintah silih berganti namun Tuhan tetap ada sepanjang segala zaman dan negara tetap ada selama masih ada konsensus rakyat semesta untuk hidup bersama dalam suatu rumah besar berupa negara.
Berdasarkan filosofi tersebut di atas, maka Pancasila menjadi dasar yang kokoh sekaligus tiang yang kokoh untuk bangunan rumah besar negara bernama Republik Indonesia dimana didalamnya hidup dan tinggal seluruh anak-anak bangsa putra putri pertiwi.
Selain itu Pancasila juga sebagai pedoman aturan kehidupan berbangsa dan bernegara yang di ramu sedemikian rupa menjadi aturan-aturan konstitusi negara serta aturan-aturan hukum negara, dan itu harus ditaati oleh seluruh warga negara, rakyat maupun pemerintah yang berkuasa.
Semua tersebut diatas adalah suatu acuan untuk idealnya kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun apakah saat ini Pancasila masih dipakai sebagai ideologi dan dasar kehidupan berbangsa bernegara?
Apakah Pancasila masih di pakai sebagai sumber dari segala sumber hukum negara?
Apakah Pancasila masih dipakai sebagai pedoman penegakan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Ataukan Pancasila hanya tinggal sebuah nostalgia kehidupan berbangsa dan bernegara?
Semua pertanyaan diatas dapat terjawab bila dengan seksama kita melihat perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, demikian juga perilaku penguasa yang memerintah bangsa dan negara ini serta perilaku para aparatur penegak hukum apakah itu polisi, jaksa, hakim termasuk pengacara (advokat).
Didalam konstitusi negara UUD 1945 jelas dan tegas mengatur bahwa negara wajib melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia.
Siapakah negara yang dimaksud ?
Negara adalah aparatur-aparatur negara yang diberi mandat kekuasaan serta wewenang kekuasaan oleh rakyat yang berdaulat atas negara itu, karena tidak ada negara tanpa rakyat atau bangsanya, sehingga aparatur negara apapun dan siapapun harus tunduk pada pemilik kedaulatan yaitu rakyat, bukan rakyat yang harus tunduk pada aparatur negara yang diberi mandat kekuasaan.
Dalam sila ke-4 Pancasila telah jelas dan tegas diamanatkan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, artinya rakyat menempatkan perwakilannya yang disebut wakil rakyat untuk dan atas nama rakyat pemilik kedaulatan melakukan kontrol kekuasaan kepada aparatur negara dan pemerintah dalam menjalankan kehendak rakyat dan kehendak konstitusi negara, namun semua itu harus dilakukan berdasarkan pada Pancasila sebagai “way of life”, sebagai ideologi dan sebagai dasar negara.
Dengan demikian perilaku “bar-bar”, brutal, dan perilaku penyalahgunaan kekuasaan atau “abuse of power” yang dilakukan oleh aparatur negara adalah sangat bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara serta bertentangan konstitusi negara dan sebagai “pengkhianatan” terhadap Ideologi serta dasar negara dan konstitusi negara UUD 1945, dan juga pengkhianatan terhadap rakyat selaku pemilik kedaulatan tertinggi atas negara.
Segala kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, yaitu kepentingan kekuasaan, jabatan, pangkat, serta kepentingan politik tertentu tidak boleh dipergunakan atas nama negara untuk menindas dan membunuh rakyat, mengadu domba serta memecah belah rakyat dan persatuan serta kesatuan negara, apapun alasannya, apalagi situasi dan kondisi negara dalam keadaan damai.
Mari kita kembali pada jati diri bangsa dan kembali pada Pancasila.
Bila kita sebagai bangsa dan negara ini mau tetap ada serta hidup dalam kedamaian dan kerukunan, maka memasuki tahun 2021 kita segera melakukan rekonsiliasi nasional, sebab bangsa dan negara Republik Indonesia berdiri dan ada sampai sekarang bukan atas paksaan dengan kekerasaan atau dibawah todongan senjata, tapi atas dasar kesadaran seluruh rakyat Indonesia untuk mendirikan suatu bangsa dan negara yang bernama Republik Indonesia.
Kekerasan dengan menggunakan agitasi, provokasi, adu domba dan apalagi dengan menggunakan senjata untuk memaksa suatu kehendak tidak akan berhasil, akan tetapi cenderung akan melahirkan perlawanan dan perpecahan.
Rakyat harus menghormati Pemerintah dan Pemerintah juga harus menghormati serta mengerti kehendak rakyat, rakyat dan pemerintah harus bekerjasama dalam hal positif demi bangsa dan negara untuk mewujudkan kedamaian, kesejahteraan dan keamanan serta ketahanan nasional. (*)
Penulis: Nicholay Aprilindo
Alumnus PPSA XVII-2011 LEMHANNAS RI.