Bunuh Diri Sebagai “Virus Paten” di Kabupaten Ende
Diterbitkan Rabu, 6 Oktober, 2021 by NKRIPOST
Oleh : Arys Botha
Pengajar perubahan Sosial Dan Pembangunan Di STPM St. Ursula.
Bunuh diri masih menjadi masalah serius di seluruh dunia. Berbagai riset menunjukkan bahwa terdapat sekitar 1,5 juta orang di seluruh dunia meninggal karena bunuh diri pada tahun 2020 (World Health Organization-2018- apps.who.int). Di Indonesia sendiri, jumlah kasus kematian akibat bunuh diri diperkirakan mencapai 9.000 kasus setiap tahun.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam World Health Statistic 2019; Monitoring Health for the SDGs, Annex 2, WHO 2019, pernah menerbitkan penelitiannya tentang perkiraan tingkat bunuh diri. Dari beberapa tahun sebelumnya, terlihat peningkatan angka bunuh diri di Indonesia. WHO menuliskan perkiraan ini per 100 ribu orang. Pada tahun 2000 ada 5,9 pria dari 100 ribu pria melakukan bunuh diri. Pada 2010, angkanya turun sedikit menjadi 5,6. Pada 2015, angkanya kembali turun menjadi 5,3. Pada 2016, angka itu kembali turun menjadi 5,2. Angka bunuh diri yang dilakukan perempuan juga turun sejak tahun 2000. Saat itu tercatat angkanya berada pada 2,7 per 100 ribu orang. Pada 2010 menjadi 2,4. Pada 2015 turun menjadi 2,2. Pada 2016 angka itu tetap sama.
Masih pada data WHO, tingkat bunuh diri di Indonesia pada tahun 2000 adalah 4,3%. Angka itu turun menjadi 4% pada 2010. Pada 2015 angka itu menjadi 3,7%. Terakhir pada 2016, tingkat bunuh diri Indonesia tetap pada angka 3,7%. Dengan angka 3,7% itu, Indonesia berada di peringkat 159 dalam hal tingkat bunuh diri di dunia. Negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia adalah Guyana dengan angka 30,2. Disusul di peringkat kedua ada Lesotho dengan tingkat bunuh diri 28,9. Di ranking ke-3, ada Rusia dengan tingkat bunuh diri 25,5. Korea Selatan berada di urutan ke-10 dengan angka 20,2. Jepang berada di urutan ke-30 dengan tingkat bunuh diri 14,3.
Amerika Serikat (AS) ada di urutan ke-34 dengan angka 13,7. Posisi paling buncit, yakni di urutan ke-183, ditempati oleh Barbados dengan angka 0,4. WHO menyebut bunuh diri sebagai fenomena global. Faktanya, 79% bunuh diri terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah pada 2016. Bunuh diri merupakan pembunuh ke-18 di dunia pada 2016, karena 1,4% kematian di seluruh dunia disebabkan oleh bunuh diri. Bahkan bila lingkup umur dipersempit, yakni kematian usia 15-29 tahun, bunuh diri menjadi pembunuh nomor dua di dunia.
Sebanyak 800 ribu orang di seluruh dunia tewas akibat bunuh diri setiap tahunnya. Itu artinya, setiap 40 detik ada satu orang yang tewas akibat bunuh diri. “Ada indikasi, tiap satu orang dewasa mati bunuh diri maka ada lebih dari 20 orang lainnya yang melakukan percobaan bunuh diri,”
Data kasus bunuh diri yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan angka tertinggi pada kamatian bunuh diri di Asia Tenggara. Menurut WHO, Global Health Estimate, setidaknya setiap 40 detik ada 1 orang meningal bunuh diri (http://www.who.int/healthtinfo/global-burden-disease/estimate). Rincian data WHO menjelaskan angka kematian akibat bunuh diri tahun 2016 sebanyak 3,4/100.000 penduduk (laki-laki 4,8/100.000) lebih tinggi dari perempuan (2,0/100.000 penduduk). Secara umum angka kejadian lebih banyak pada kelompok umur yang lebih tua, kecuali kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 5,1/100.000 penduduk yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok umur 30-39,40-49 dan 50-59. Jika diasumsikan angka kematian bunuh diri di Indonesia tahun 2018 tidak berubah hal ini dikarenakan di Indonesia data penduduk bertambah 265 juta jiwa maka diperkirakan jumlah kematian bunuh di indonesia mencapai 9.000 kasus per tahun. Bahkan kompas (https://lifestyle.kompas.com) merilis terlebih pada tahun 2020, Indonesia akan mendapatkan “Bonus Demografi” artinya diprediksi akan ada banyak orang yang mengalami depresi, bahkan memiliki pikiran untuk bunuh diri. Jika hal ini terjadi maka Indonesia berpotensi besar kehilangan sumber daya manusia unggul.
Fakta mengenai kematian bunuh diri seperti pada data di atas pada umumnya didasarkan pada pengaruh keputusan individu. Seseorang yang memutuskan untuk bunuh diri bisa melakukannya dengan berbagai cara, mulai dari menggantung diri, mengonsumsi obat hingga overdosis, menenggak cairan beracun, hingga loncat dari gedung atau tempat yang tinggi. Keputusan untuk bunuh diri tentu disebabkan oleh beragam kondisi mulai dari kondisi ekonomi, politik, sosial-kultural dan masalah psikis atau kejiwaan dari sesorang.
Beberapa literatur menegaskan bahwa keputusan bunuh diri berangkat dari mereka yang mengalami stres berat atau tekanan batin, gangguan kesehatan, dan masalah kejiwaan. Kondisi gangguan bipolar misalnya yakni orang yang mengalami perubahan suasan hati yang sangat drastis, kondisi dimana ia bisa mendadak sedih atau tidak bersemangat, padahal sebelumnya merasa gembira dan sangat antusias. Atau pada penelitian yang dilaporkan di Archives of General Psychiatry (PF Sullivan – American Journal of Psychiatry, 1995–Citeseer) menemukan hubungan antara gangguan makan dan tingkat kematian yang tinggi, terutama bagi mereka dengan anoreksia nervosa. Anoreksia nevorsa yakni kondisi penderita merasa dirinya gemuk sehingga melakukan berbagai upaya untuk menurunkan berat badan, termasuk konsumsi obat-obatan secara berlebihan hingga berisiko mengalami overdosis. Angka kematian karena bunuh diri cukup tinggi pada pada penderita gangguan makan ini, terutama pada remaja wanita.
Keputusan bunuh diri juga datang dari mereka yang mengalami borderline personality disorder (BPD) (JL Herman, JC Perry, The American journal of. 1989) yakni penderita memiliki emosi yang tidak stabil dan terkadang sulit bersosialisasi. Penderita gangguan ini umumnya memiliki riwayat pelecehan seksual pada masa kecilnya dan memiliki risiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
Penyakit jiwa lain yang berkontribusi pada meningkatnya angka bunuh diri ialah skizofrenia atau sering berhalusinasi, paranoid atau sulit percaya dengan orang lain, berperilaku aneh, dan memiliki paham atau percaya pada hal-hal yang belum tentu nyata. Diperkirakan sekitar 5% penderita gangguan kejiwaan ini mengakhiri nyawanya dengan cara bunuh diri (S Zahnia, DW Sumekar ; 2016). juga Gangguan adiksi yang mana adalah gangguan perilaku yang membuat seseorang menjadi sangat ketergantungan atau kecanduan dengan hal tertentu, seperti rokok, minuman beralkohol, atau narkoba. Selain itu, gangguan adiksi juga bisa berupa kecanduan terhadap aktivitas tertentu, seperti kecanduan belanja, bermain game, seks, atau berjudi.
Orang yang mengalami gangguan adiksi diketahui memiliki risiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
Kontribusi mental kejiwaan seseorang terhadap naik turunnya angka bunuh diri tentu tidak terlepas dari beragam faktor yang saling bergandengan seperti hubungan dalam keluarga dan hubungan sosialnya. Seperti yang ditemukan (Yuliawati, Setiawan, & Mulya, 2007) dalam jurnal Hubungan antara Kesepian dengan Ide Bunuh Diri pada Remaja dengan Orangtua yang Bercerai, mengatakan bahwa Secara psikologis, remaja yang berasal dari keluarga bercerai jauh lebih mungkin mengalami masalah emosi seperti kesepian, namun belum tentu semuanya mengalami kesepian ataupun muncul ide bunuh diri.
Selain beberapa gangguan kesehatan mental di atas, ada faktor lain yang juga bisa memicu seseorang bunuh diri, seperti yang diangkat oleh Muhamad Dzil ( 2019), tentang hubungan kebijkan publik sebagai metode penekanan naik turunnya angka kematian bunuh diri pada suatu daerah. Kebijakan publik yang memihak akan menekan angka pelecehan seksual, menekan masalah sosial dan ekonomi, seperti kehilangan pekerjaan atau terjerat hutang, mengurangi peristiwa hidup yang penuh tekanan, seperti penolakan, perceraian, atau kehilangan orang yang dicintai, meminimalisir korban perundungan (bully).
Angka kasus bunuh diri dengan motif kematian gantung diri di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur terus menanjak. Pada tahun 2020 dan 2021 awal saja Kabupaten Ende setidaknya menyumbang angka kematian dengan kasus bunuh diri. Terpublikasi kurang lebih 4 kasus kematian gantung diri yang pernah dirilis pada media masa nasional dan lokal. Kasus pertama di tahun 2020 terjadi pada tanggal 25 juni tepatnya di jln. Gatot Subroto, kelurahan Mautapaga, Kecamatan Ende Timur (Bareskrim Polres Ende;2021), selang beberapa waada TribunNews tanggal 29 agustus 2020 memberitakan seorang kepala desa ditemukan tewas gantung diri, (https://www.tribunnews.com/regional/2020/08/29). Berselang beberapa bulan tepatnya tanggal 5 Desembar 2020 kasus baru kembali diekspose Zonalinenews dengan tagline ‘diduga putus cinta, seorang pemuda di Ende nekat gantung diri’ (https://zonalinenews.com/2020/12). Kasus bunuh diri di Kabupaten Ende tidak berhenti di tahun 2020 akan tetapi terus berlanjut pada awal tahun 2021 seperti yang dilansir ekorantt pada tanggal 28 januari 2021 (https://ekorantt.com/2021/01/28) diberitakan seorang remaja menghabisi nyawanya sendiri dengan menggantungkan diri. Kasus bunuh diri kembali terjadi di Kabupaten Ende. Dan untuk kedua kalinya seorang Siswi SMKN 2 Ende Kelas ll Jurusan Geomatika, meregang nyawa pada sebatang pohon cengkeh dengan cara mengantung diri, pada Kamis (28/01/2021), pukul 12.00 Wita, di Dusun Seraka, RT.002/RW.001, Desa Embuteru Nuabosi, Kecamatan Ende, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Data angka kasus bunuh diri dengan cara gantung diri di atas sengaja ditampilkan sebagai data representatif angka bunuh diri di Kabupaten Ende. Kondisi bunuh diri dengan cara gantung diri yang tertampil merupakan masalah kompleks yang harus dicarikan akar penyebabnya dan kemudian diberikan solusi atasnya sehingga berkemungkinan untuk bertambahnya angka kematian akibat bunuh diri bisa diminimalisir. Setidaknya bertolak dari pengamatan kasus bunuh diri di Kabupaten Ende yang terus menanjak, kasus bunuh diri dinilai sebagai persoalan yang realtif konkret dan spesifik. Bunuh diri yang adalah tindakan pribadi dan personal namun bukan demikian kita malah membiarkan atau tidak memfokuskan diri pada mengapa orang bunuh diri, atau lebih tepatnya mengapa angka bunuh diri pada kelompok masyarakat Kabupaten Ende lebih menonjol dari kelompok masyarakat lainnya. Kecemasan ini harus dibongkar sehabis-habisnya dengan melihat faktor terpenting dalam perbedaan angka bunuh diri terlebih pada perbedaan level fakta sosial yang kadang diabaikan dalam pengentasan masalah bunuh diri. Hal ini tentu didorongan oleh kepentingan sosial yang berbeda sehingga menciptakan sentimen kolektif yang berbeda. Arus sosial itulah yang mempengaruhi keputusan seorang individu untuk bunuh diri.
Jika kita boleh memakai pandangan Emile Durkheim yang menolak tegas adanya anggapan bahwa bunuh diri disebabkan oleh penyakit kejiwaan, imitasi atau peniruan, iklim, alkoholisme, kemiskinan dan pengaruh ras tertentu yang memiliki kecendrungan melakukan bunuh diri (A Biroli – Simulacra, 2018 ). Dari argumentasi Emile Durkheim, tergambar jelas bahwa bunuh diri disebabkan karena adanya determinasi sosial yang kuat. Intervensi sosial pada kondisi psikis seseoranglah yang menjadi sebab bunuh diri, dengan kata lain bunuh diri bukan karena keputusan menyeluruh individu akan tetapi merupakan bias dari kondisi sosial yang kuat terhadap keputusan tersebut. Maka boleh dikatakan bahwa Kabupaten Ende sedang mengalami sebuah Arus Sosial yang berbeda dengan daerah lain. Arus sosial yang dimaksudkan bisa genetik, organbiologik, psikologik, sosiokultural, politik lokal, pola perdagangan, ekonomi, manufacture, mobilitas barang dan jasa, harga barang yang timpang dengan daerah Jawa, sentralisme, hukum adat dan lokal, pendidikan karakter dan lain sebagainya yang mana dilihat sebagai sebuah fakta sosial. Masyarakat kabupaten Ende harus sungguh berhati-hati dengan vitus varian paten yang bernama bunuh diri ini, virus ini lebih kejam karena tidak saja merenggut nyawa melainkan memporak-porandakan sistem sosial secara bertahap. Oleh karena itu cara pencegahanya juga harus dilakukan secara bertahap dan konsisten.
Mengatasi masalah atau virus ini adalah tugas bersama tidak saja pada pribadi melainkan lebih pada menjaga sistem sosial yang kuat pada kelompok masyarakat di Kabupaten Ende. Mari kita bunuh virus ini dengan menjaga keutuhan sistem sosial bersama.
(Ryand Laka Ma’u)