MEMBANGUN INDONESIA DARI DESA: Relevankah Membangun Indonesia Raya dari Malaka? [PENUTUP]
Diterbitkan Sabtu, 14 Agustus, 2021 by NKRIPOST

Benyamin Mali
Diaspora Malaka Jakarta, Asli Kletek, Dosen Unika Atma Jaya Jakarta
Nkripost, Malaka – Edisi 3 dari seri tulisan ini, yang berbicara tentang ‘partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan’, berakhir dengan himbauan kepada Pemerintah Daerah, terkhusus 127 KADES, di Malaka, agar memberikan ‘kepercayaan’ dan ‘kesempatan’ kepada masyarakat, sehingga tuntutan ‘partisipasi masyarakat dalam pembangunan’ dapat berwujud nyata. Hal pemberian itu menunjukkan bahwa pemerintah punya kemauan politik dan iktikad baik untuk mewujudkan kesejahteraan umum (bonum commune, bonum publicum, state of well-being) bagi rakyat di Malaka. Kemauan politik dan iktikad baik itu tampak di dalam apa yang kita sebut: ‘pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa’, yang kita singkat saja dengan ’pemerintahan yang baik’. Inilah yang menjadi pokok tinjauan dalam edisi 4 ini.
Saya mau mengawali topik ini dengan menyinggung DUA HAL yang saya anggap penting untuk disadari oleh Pemerintah Daerah Malaka dan seluruh rakyat. Yang pertama, KERUNTUHAN ORDE BARU, dan yang kedua adalah “PEMEKARAN” Tahun 2013 dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Kabupaten Malaka. Yang pertama memberi contoh ‘buruk’ tentang tata kelola pemerintahan sehingga membuat Indonesia nyaris menjadi ‘negara-gagal’ (failed-state). Yang kedua memberi inspirasi dan motivasi untuk menata-kelola DOB Malaka dengan sebaik-baiknya agar Malaka sungguh ‘mekar’ dalam arti kata yang sesungguhnya.
KERUNTUHAN ORDE BARU
Semua kita tahu mengapa ada Gerakan Reformasi tahun 1998 yang melibatkan hampir semua elemen masyarakat untuk menjatuhkan Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, saya rasa tidak perlu saya beberkan ‘segala sesuatu’ yang telah terjadi dengan Orde Baru dan di zaman Orde Baru. Karena ‘tidaklah etis’ mengungkit sesuatu yang sudah berlalu 23 tahun.
Cukuplah kiranya di sini saya katakan dengan singkat bahwa masalah mendasar yang meruntuhkan Orde Baru dan melahirkan Orde Reformasi adalah masalah ‘kualitas’ tata kelola pemerintahan dan ‘kualitas’ pemerintah Orde Baru itu sendiri yang dinilai sebagai buruk, bahkan sangat buruk sehingga memberi peluang lebar bagi praktik KKN, suap dan gratifikasi dari pusat hingga daerah. Akibatnya ialah fundamental ekonomi Indonesia rapuh dan keropos. Krisis multidimensional yang menerpa Indonesia di tahun 1997/98 berawal dari krisis moneter yang parah itu.
Belajar dari peristiwa bersejarah itu, kita dapat memahami mengapa Orde Reformasi memandang ‘tata kelola pemerintahan yang baik’ (Good Governance) sebagai suatu tuntutan dan kebutuhan real dan mendesak bagi kelangsungan hidup, juga kemajuaan bangsa dan negara. Demikian juga dengan tekad untuk melakukan ‘reformasi birokrasi’ sebagai bagian penting dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Keduanya merupakan upaya sadar untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme secara terarah, sistematis, dan terpadu.
PEMEKARAN
Tak seorang pun orang Malaka, di mana pun berada, menangis tersedu-sedan karena Malaka menjadi suatu kabupaten sendiri, menjadi suatu ‘Daerah Otonomi Baru’ (DOB) terlepas dari Kabupaten Belu. Sebaliknya seluruh semesta Malaka bersorak-sorai, berteriak kegirangan, berjingrak-jingkrak sambil menari ‘tebe’, ‘bidu’, ‘likurai’, menyanyi ‘elele’ dan ‘meronggeng’. Bahkan tidak hanya itu! Peristiwa ini menjadi buah-bibir masyarakat, siang dan malam, selama berminggu-minggu; terkesan mirip dengan peristiwa “17 Agustus 1945”, 76 tahun lalu, yang bagi bangsa Indonesia, merupakan peristiwa ‘pemerdekaan sekaligus kemerdekaan’, ‘pembebasan sekaligus kebebasan’ dari cengkeraman penjajahan bangsa asing. “Sekaranglah saatnya kita mengatur diri sendiri,” demikian kata orang Malaka, minimal pejuang pemekaran.
Mari kita merenung dan bertanya diri sekarang: “Bagaimana gaung cerita pemekaran Malaka itu SEKARANG? Apakah tari-tarian ‘tebe’, ‘bidu’, ‘likurai’ dan nyanyian ‘elele’ masih terus membahana di seluruh pelosok Malaka?” Jawablah sendiri dalam hati!
Sambil merenungkan pertanyaan di atas, saya mengajak khalayak Malaka seluruhnya, khususnya para pemrakarsa dan pejuang pemekaran, juga mereka yang sekarang menduduki jabatan-jabatan penting di DOB Malaka, untuk memikirkan makna istilah “PEMEKARAN”. Saya sendiri bingung dengan penggunaan istilah ‘pemekaran’ terkait ‘pemekaran-wilayah’. Mengapa? Karena, kata ‘mekar dan pemekaran’ tidak tepat digunakan dalam konteks ini.
Lalu yang benarnya bagaimana? Coba pikirkan arti kata ‘mekar’ dan ‘pemekaran’ berikut. Kata ‘mekar’ berarti: ‘mulai berkembang, menjadi terbuka, menjadi besar, menjadi bertambah luas’; sedangkan ‘pemekaran’ berarti ‘menjadikan sesuatu bertambah besar, bertambah luas’. Tampak di sini, bahwa proses ‘menjadi’ itu terjadi di dalam diri sesuatu yang mekar itu sendiri. Contoh kalimat: “Kembang mawar itu mulai mekar” artinya: proses ‘mekar’ itu terjadi pada pohon mawar itu sendiri yang kembangnya mulai terbuka, merekah.
Maka bila dikatakan “Pemekaran Malaka atau Malaka Dimerkarkan” itu tidak benar. Karena ungkapan itu berarti wilayah Malaka itu sendiri berkembang menjadi ‘lebih-luas, lebih-besar (mungkin dengan cara ‘reklamasi pantai-selatan’ dari Abudenok hingga Masinlulik-Maubesi Hasan sejauh berapa mil laut), atau wilayah Malaka sendiri dari gunung hingga ke lembah menjadi ‘lebih-maju’, ‘lebih-modern’, dan lebih-lebih lainnya dalam hampir semua bidang kehidupan. BUKAN ‘MENJADI SATU KABUPATEN BARU’! Yang nyata terjadi adalah Kabupaten Belu di-PECAH-kan menjadi DUA wilayah kabupaten.
Oleh sebab itu, seluruh orang Malaka HARUS SADAR DAN TAHU DENGAN PASTI bahwa ‘PEMEKARAN’ itu adalah istilah halus untuk menganti istilah ‘PEMECAHAN’ yang tidak enak didengar telinga, karena di dalamnya terkandung makna ‘PEMISAHAN’. Dalam arti apa? Dalam arti, daerah ‘BELU DIPECAH DUA MENJADI BELU DAN MALAKA’ dengan TUJUAN agar kedua-duanya dapat FOKUS mengembangkan diri masing-masing, lalu berkembang menjadi lebih maju, dalam semua bidang kehidupan berkabupaten, oleh karena ditangani dan ditata-kelola dengan lebih professional, lebih efektif-efisien, lebih transparan, lebih akuntabel, lebih partisipatif, sehingga lebih cepat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat, yang merupakan cita-cita dan tujuan nasional Indonesia Merdeka.
Di sini, ‘pemekaran’ – menurut arti kata sebenarnya – lebih merupakan “TUJUAN” dari tindakan pemecahan itu. Lebih dari itu, pemecahan itu sendiri terjadi karena berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Menurut analisis saya, factor penyebab pemecahan itu antara lain karena: (1) ‘PERPECAHAN’. Lho koq ‘perpecahan?’ Ya, ‘pemecahan’ karena ada ‘perpecahan’, konflik, perseteruan, yaitu perpecahan internal antara berbagai kekuatan politik di Belu: Utara dan Selatan. Sadar atau tidak sadar, diakui terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, minimal ada semacam “perang-dingin” antara kekuatan-kekuatan politik Utara-Selatan di BELU, suatu hal yang sudah lumrah dalam dunia politik dimana pun di dunia.
Dan sekarang, di bawah panji Reformasi 1998, dengan terbukanya peluang ‘pemecahan’ wilayah-wilayah propinsi dan kabupaten, tampaknya kekuatan politik Selatan berjuang untuk memecah-diri atau memisahkan diri: “Biarlah masing-masing jungkir-balik mengatur dirinya sendiri!” Hal ini baik untuk menghindari suatu “perang-terbuka” antara Utara dan Selatan waktu itu. Saya tidak tahu sepersis-persisnya karena ketika pemekaran terjadi tahun 2013, saya sudah 23 tahun meninggalkan Belu dan Malaka.
Faktor lain bisa juga memicu upaya serius untuk pemecahan itu adalah (2) motif PROMOSI jabatan bagi putra-putri Malaka, yang di BELU sulit mendapat promosi, juga (3) membuka peluang dan kesempatan yang lebih luas bagi putra-putri Malaka untuk mengembangkan daerahnya sendiri. Mengapa? Karena, pemecahan itu secara tidak langsung mengakibatkan ‘pemisahan-diri’ dari “daerah-induk-Belu” dan dengan begitu terbuka peluang yang luas dan banyak untuk mendapat pekerjaan sebagai ASN dan juga untuk menempati berbagai jabatan di berbagai pos dalam urusan-urusan politik dan administrasi kepemerintahan.
Bila PEMEKARAN dimaknai sebagai TUJUAN dari PEMECAHAN Belu atas dua wilayah politik dan administrasi negara, pertanyaan kita adalah (1) Apa yang seharusnya orang Malaka lakukan dalam menata-kelola urusan-urusan politik dan administrasi pemerintahan Malaka agar Malaka mekar dan TIDAK SAMA SAJA dengan Belu, induk-semangnya? (2) Apakah putra-putri Malaka yang hijrah dari Belu untuk mulai menggarap “kebun baru Malaka” sungguh menghayati makna “pemekaran” dan memiliki “jiwa-pemekaran” yang pas untuk memekarkan “kebun-baru Malaka” itu? Atau jangan-jangan mereka hijrah dengan tetap membawa serta virus ‘primordialisme Utara-Selatan’ yang ada di Belu dahulu, dan yang menjadi salah satu faktor pemecahan? (3) Bila pemekaran itu terkesan sebagai ‘pemerdekaan sekaligus kemerdekaan’, ‘pembebasan sekaligus kebebasan’, apakah putra-putri Malaka sudah memanfaatkan momentum itu sebagai ‘jambatan emas’ menuju masyarakat Malaka yang adil dan makmur? Ataukah justru sebaliknya, tetap ‘menjajah’ satu sama lain di antara sesama anak-Malaka dengan menerapkan gaya politik ‘devide et impera’ (memecah-belah untuk menguasai) seperti kolonial Belanda tempoe doeloe? Pertanyaan (4) yang sederhana namun membuktikan adanya penghargaan orang Malaka terhadap upaya penuh lika-liku untuk meraih pemekaran adalah ‘Apakah sudah ada PERATURAN DAERAH MALAKA yang dengan tegas menetapkan HARI TERBITNYA UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MALAKA sebagai HARI LAHIR / HARI JADI Kabupaten Malaka?’
Pertanyaan-pertanyaan refleksif di atas menantang semua putra-putri Malaka, khususnya Pemerintah Daerah Malaka, dari pusat kabupaten hingga ke desa-desa, untuk memajukan tanah kelahirannya sendiri. Renungkan saja pertanyaan-pertanyaan itu! Tidak usah capek-capek menjawabnya! Dengan pertanyaan-pertanyaan di atas tersedia landasan kokoh untuk kita bicara tentang “pemerintahan yang baik (Good Governance)
PEMERINTAH
Saya mau mengajak pembaca untuk sejenak belajar ‘bahasa’, khususnya tentang etimologi kata ‘pemerintah’. Dalam bahasa Inggris kata ‘pemerintah’ diistilahkan dengan ‘government’. Kata ini diturunkan dari kata kerja bahasa Latin ‘gubernare’ artinya ‘mengemudi’ (to steer), menguasai, memerintah (to rule); juga diturunkan dari kata benda ‘gubernaculum’, yang berarti ‘kemudi kapal’ (ship rudder) atau dayung kemudi (steering oar). Kata ‘government’ juga beradal dari kata Yunani ‘kubernan’ (to steer) yang berarti nakhoda kapal, dan ‘menatap ke depan’. Dari etimologi kata itu, dapat disimpulkan bahwa ‘pemerintah’ itu adalah ‘nakhoda-kapal’ yang mengemudi kapalnya sambil menatap ke depan ke arah tujuan. Ada ‘apa’ di depan? Jangan-jangan ada batu karang besar atau puncak gunung es di depan.
Dari etimologi kata ‘pemerintah’ itu, kita bisa merinci segala sesuatu yang terkait dengan pemerintah sebagai ‘nahkoda kapal’. Misalnya, (A) KAPAL itu sendiri dengan segala detailnya: (1) siapa pemiliknya? (2) kapal jenis apa: kapal penumpang, kapal pesiar atau kapal barang, (3) sudah tua atau masih baru? sudah berapa lama berlayar? (4) pakai mesin atau layar?; (4) siapa penumpangnyap dan berapa? (B) NAHKODA: tanpa ‘nahkoda’, kapal tidak bisa beroperasi; tapi orang yang menjadi nahkoda itu harus memenuhi kualifikasi ilmu, karakter, dan pengalaman berlayar, karena ada kemungkinan taufan-badai di tengah laut. Pertanyaannya: (1) Siapa nahkoda kapal itu? (2) Siapa-siapa saja awak kapal, pendamping nahkoda? (3) awak-awak kapal itu sebagai pembantu nahkoda dipilih dan diangkat berdasarkan prinsip: “The right man on the right place, atau ‘maen angkat taroh saja’”? (4) Nahkoda dan awak-awak kapal bisa, bahkan harus diganti di tengah jalan, mengingat ‘pelabuhan-tujuan’ amat sangat jauh. Siapkah diganti sewaktu-waktu, dan bagaimana menggantinya?
Dari uraian di atas, kita bisa memerinci tugas-tugas pemerintah sebagai ‘nahkoda, pemegang kemudi kapal’ agar kapal selamat di perjalanan, dengan kondisi penumpang yang aman-tenteram, damai dan bahagia, tak kurang suatu apa pun.
Ada dua fungsi pemerintah, yaitu fungsi ‘memerintah’ (besturen functie) dan fungsi ‘pelayanan’ (verzorgen functie). Fungsi ‘memerintah’ merupakan fungsi utama dalam pemerintahan. Di sini pemerintah tampil sebagai pengemudi kapal berdasarkan TUPOKSI yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan berbagai peraturan pemerintah. Dia juga harus ‘sigap’ karena bisa saja ada ‘taufan-badai’ di tengah laut. Sedangkan fungsi ‘melayani’ merupakan fungsi penunjang. Kendatipun begitu, fungsi pelayanan tak kalah penting dan urgensinya, karena pelayanan ditujukan bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat melalui organ-organ pemerintah. Fungsi pelayanan ini memiliki nilai strategis karena berpotensi menentukan kelanggengan, perkembangan dan keunggulan bersaing suatu pemerintahan di masa yang akan datang.
Dua fungsi itu dapat dilakoni, karena pemerintah daerah sekarang punya ‘kekuasaan-politik’ sekaligus ‘kekuasaan-administratif’. Kekuasaan politik adalah kekuasaan (power) dan wewenang (authority) untuk membuat dan memutuskan kebijakan. Sedangkan kekuasaan administrasi adalah kekuasaan dan wewenang untuk menjalankan kebijakan yang telah diambil. Kedua-duanya bertujuan untuk mempercepat laju pembangunan di daerah menuju terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat di daerah masing-masing. Di samping dua kekuasaan itu lahir juga kewenangan di bidang keuangan (fiskal) dan ekonomi. Di sini, pemerintahdaerah memiliki kewenangan mengurus keuangan daerahnya sendiri dan mengurus pembangunan ekonomi daerah dengan mengelola sumber daya ekonomi yang ada di daerah demi kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat.
PEMERINTAHAN YANG BAIK
Dengan kata ‘pemerintahan’ (bestuurvoering, governance) mau ditunjuk hal ‘pelaksanaan tugas-tugas pemerintah’. Pelaksanaan tugas ini terkait dengan segala proses, cara, dan aktivitas memerintah dan segala sesuatu yang dilakukan oleh aparatur negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi masyarakat dan menegakkan kepentingan negara.
Agar suatu pemerintahan disebut “baik”, maka segala urusan negara yang dikerjakan hendaknya dilakukan secara profesional, bertanggung jawab, transparan, efektif-efisien, partisipatif dan antisipatif, visioner, holistik komprehensif dengan berdasarkan kontitusi dan berpedoman pada cita-cita dan tujuan nasional.
Belajar dari latar belakang runtuhnya Orde Baru, pemerintah di era Reformassi harus menjalankan dua fungsinya dengan baik agar kesejahteraan rakyat seepatnya tercapai. Kekuasaan dan wewenang yang ada padanya harus dimanfaatkan secara arif-bijaksana. Di sini, sikap-sikap kemanusiaan dan kenegarawanan hendaknya mewarnai pelaksanaan dua fungsi dasar pemerintah di atas, karena sikap-sikap itu merupakan prasyarat bagi suatu pemerintahan yang baik. Kekuasaan dan wewenang yang dimiliki tidak terutama untuk menguasai dan merajai rakyat, melainkan untuk melayani, mengayomi, melindungi, serta mendukung kehidupan rakyat. Maka perilaku dan tindakan sewenang-wenang tidak elok dan tidak pantas dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat. Karena bagaimanapun sederhananya rakyat, mereka adalah ‘pemegang kedaulatan negara’ dan ‘pemilik kapal’. Pemerintah disebut nahkoda, karena ada kapal, yang majikan pemiliknya adalah rakyat.
Mengambil hikmah dari arti “pemekaran sebagai tujuan” untuk mengembangkan dan memajukan daerah otonom, maka tata kelola pemerintahan yang baik merupakan tuntutan mutlak. Tata kelola yang baik ini tampak di dalam “reformasi-birokrasi” yang langsung mengena para birokrat yang bekerja di biro-biro pemerintahan agar mereka me-reform diri sehingga menjadi birokrat-birokrat handal dan terpuji. Reformasi birokrasi itu adalah upaya untuk melakukan perubahan mendasar terhadap mentalitas para birokrat, melalui suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang credibel, terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess), agar tata kelola pemerintahan yang baik dapat terwujud. Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara yang profesional, lebih berdaya-guna dan berhasil-guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Semua ini hanya akan berhasil jika ada “revolusi mental” yang menuntut perubahan mind-set dan orientasi birokrasi yang semula melayani kepentingan kekuasaan menjadi melayani kepentingan masyarakat (pelayanan masyarakat).
MEMBANGUN MALAKA DARI DESA
Gagasan “Membangun Malaka dari Desa berbekalkan Dana Desa dan modal sosial yang ada di desa masing-masing hanya akan berhasil bila Kades dan para pejabat desa mereformasi diri. Kita mengandaikan bahwa mereka memahami fungsi mereka sebagai pemerintah tingkat desa dengan rincian “tupoksi”nya. Reformasi diri itu hendaknya didukung oleh suatu mentalitas “pelayanan” (fungsi kedua pemerintah) kepada masyarakat di desanya, hal mana akan meminimalisir jiwa “penguasa” yang dapat menyeret mereka kepada kebiasaan main kuasa dan kesewenang-wenangan. Namun Desa bukan suatu ‘entitas’ pemerintahan tersendiri, terlepas dari Pemeritahan Daerah Kabupaten. Ia terikat erat dengan Pemerintahan Daerah.
Menghadapi kenyataan kualitas SDM di desa-desa Malaka yang belum memadai, saya mau mengakhiri rangkaian tulisan ini dengan beberapa saran berikut:
- Desa adalah bagian integral dari kabupaten. Desa bercermin pada kabupaten bahkan mengikuti maunya kabupaten lantaran dia tidak berdiri sendiri. Sering Desa tak berdaya menghadapi kuat-kuasa kabupaten. Maka tuntutan akan profil ‘pemerintahan yang baik’ harus lebih dahulu tercipta di tingkat kabupaten.
Saran terkait ini adalah:
(1) Pemerintah Daerah (Legislatif dan Eksekutif), terutama Bupati dan Wakil Bupati harus sungguh-sungguh berkomitmen untuk melaksanakan agenda ‘reformasi birokrasi’ dengan tegas agar impian pemerintahan yang baik itu dapat terwujud, berikut semua implikasinya.
(2) Pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan tanpa kompromi, di mana Bupati dan Wakil Bupati tampil sebagai contoh.
(3) Peningkatan kualitas ASN dalam hal-hal terkait ‘tugas-tugas kenegaraan’ perlu dijadikan agenda tetap. Demikiann juga dengan para Kades dan semua perangkat desa. Kecintaan terhadap “tupoksi” datang dari pemahaman yang mendalam akan semua hal terkait negara dan tugas-tugas kenegaraan yang semuanya nanti akan diabdikan bagi kepentingan seluruh rakyat.
- Terkait Desa dan Perangkat Desa mau saya katakan hal-hal berikut: (1) mayoritas desa di Malaka dihuni oleh orang-orang yang kebanyakan masih punya hubungan kekeluargaan, karena berasal dari satu suku atau karena perkawinan antar-suku di desa itu. (2) Kades yang dipilih dalam Pilkades adalah anak-asli desa itu, salah satu dari antara orang-orang sedesa. Demikian juga semua perangkat desa. Maka sebagian besar kerja Kades dan seluruh perangkat desa, baik itu terkait dengan fungsi ‘kepemerintahan’ maupun ‘pelayanan-masyarakat’, seharusnya dipandang sebagai pengabdian bagi kemajuan desanya kaligus sedesanya, yang pada umumnya adalah kerabat.
Karena itu saran saya adalah:
(1) Untuk Pilkades: Hendaknya disiapkan suatu rumusan Visi-Misi Dasar oleh seluruh pemangku adat di desa itu. Dengan begitu, aspirasi rakyat di desa itu terungkap jelas dan tegas. Para Calon Kades dipersilakan menerjemahkan Visi-Misi Dasar itu menjadi Visi-Misinya sendiri.
(2) Kades terpilih hendaknya memilih orang-orang yang punya kompetensi sebagai perangkat desa secara fair, tidak nepotistik dan diskriminatif.
(3) Bekerjalah sebagai seorang “anak-desa-asli” dengan kecintaan yang tinggi dan dalam untuk memajukan kampung halaman kelahiranmu sendiri dan dengan loyalitas tegak lurus pada tugas-tugas anda yang tertuang dalam TUPOKSI tanpa kompromi dan permisif.
(4) Seluruh program pembangunan desa harus direncanakan dan diputuskan bersama atas dasar semangat kolegialitas, bukan secara diam-diam diatur sendiri oleh Kades. Semuanya demi kemajuan desa dan seluruh rakyat.
*Akhirnya saya menutup rangkaian refleksi ini dengan mengucapkan “DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-76. INDONESIA TANGGUH, INDONESIA TUMBUH!”*
Shalom
Jakarta, Sabtu, 14 Agustus 2021