Gotong Royong yang Memudar: Alarm Tergerusnya Kebersamaan Sosial
Diterbitkan Jumat, 2 Mei, 2025 by NKRIPOST

NKRIPOST OPINI – Gotong royong bukan sekadar aktivitas fisik bersama membersihkan lingkungan atau membangun fasilitas umum. Ia adalah cerminan nilai kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas sosial yang menjadi identitas bangsa kita. Namun, nilai ini kini semakin memudar, bahkan nyaris hilang dari kesadaran masyarakat, termasuk di Kabupaten Solok.
Pemerintah Kabupaten Solok memang masih rutin mengadakan kegiatan gotong royong, terutama menjelang ivent-ivent penting, bahkan jika ada penilaian dari tingkat provinsi seperti PKK, Dasawisma, dan lainnya.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan ini hanya ramai oleh kehadiran ASN dan pegawai OPD yang ditugaskan secara resmi. Masyarakat sekitar yang seharusnya menjadi aktor utama dalam gotong royong justru cenderung pasif. Mereka tetap asyik dengan rutinitas masing-masing, seakan tak tergugah dengan kegiatan yang dilaksanakan di depan mata mereka sendiri.
Ini tentu menjadi ironi. Gotong royong yang sejatinya tumbuh dari inisiatif dan kesadaran kolektif warga, kini justru menjadi kegiatan seremonial yang digerakkan oleh struktur birokrasi. Apakah gotong royong harus selalu menunggu momen-momen tertentu seperti penilaian provinsi? Apakah kebersihan dan keteraturan lingkungan hanya penting ketika ada “penonton” dari luar?
Jika dibiarkan, situasi ini berpotensi membunuh nilai gotong royong dari akar. Generasi muda akan tumbuh tanpa memahami makna sejatinya, dan masyarakat akan makin individualistis. Rasa memiliki terhadap lingkungan pun akan semakin menipis. Padahal, gotong royong bukan hanya soal kerja bersama, tetapi juga bentuk nyata dari kepedulian sosial.
BACA JUGA:
Kisah Gotong Royong di Jalan Jembatan Merah: Pemimpin dan Pemuda Bersatu Perbaiki Jalan
Masyarakat Sariak Sungai Abu Melakukan Goro Membuat Jalan Alternatif Karna Jalan Utama Lumpuh Total
Kabid Pembinaan SMP Disdikpora Kabupaten Solok Goro Bersama Orang Tua Murid SMPN 5 Kubung
Sudah saatnya pemerintah, tokoh masyarakat, dan lembaga sosial melakukan refleksi bersama. Menghidupkan kembali gotong royong tidak cukup dengan instruksi atau program formal semata. Perlu pendekatan kultural dan edukatif yang menghidupkan kembali semangat kolektif.
Masyarakat harus diberi ruang untuk merasa bahwa mereka adalah bagian penting dari solusi, bukan sekadar penonton dari panggung yang digelar pemerintah.
Gotong royong adalah warisan, tapi warisan itu tidak akan abadi jika tidak dijaga. Jangan sampai kita hanya mengenangnya sebagai cerita masa lalu yang kehilangan relevansi di tengah derasnya arus individualisme zaman kini.
Ingin dibuat versi yang lebih singkat untuk kolom opini media cetak atau digital?
Penulis : Nazwirman Koto