NKRIPOST

NKRIPOST – VOX POPULI PRO PATRIA

Pluralisme Agama

Listen to this article

Cara Sederhana Memahami Pluralisme Agama

NKRIPOST | Esai – Setiap agama memiliki sisi ekslusifnya masing-masing. Itulah sebabnya setiap pemeluk agama merasa keyakinannyalah yang benar. Jika saya ditanya, yang mana agama yang paling benar? Tentu saya mengatakan Islam adalah agama yang benar.

Nah, pluralisme hadir untuk mencari titik temu antara perbedaan-perbedaan tersebut. Meski setiap pemeluk agama merasa agamanyalah yang benar, namun setiap agama memiliki titik temu dan persamaan yang bisa mempererat hubungan antara pemeluk agama. Tanpa harus memaksa setiap orang mengakui kebenaran agama lain. Karena seorang pluralis sejati pasti akan sangat memahami, bahwa klaim kebenaran masing-masing pemeluk agama adalah bentuk ekspresi yang berbeda-bedea dalam memahami Tuhan yang tunggal.

Artinya apa? Keliru jika ada anggapan, pluralisme agama mengajarkan doktrin bahwa setiap agama sama-sama benar (konsep ini yang marak dipahami oleh banyak orang). Justru itu bukan pluralisme namanya. Pluralisme agama juga tidak hanya berhenti pada pemahaman bahwa setiap dari umat manusia bergama secara majemuk dan memiliki sistem keyakinan yang berbeda-beda. Tapi pluralisme mengajarkan, bahwa setiap agama memiliki persamaan dan perbedaan. Memiliki titik temu dan titik pemisah.

Mengapa perlu memahami titik temu agam-agama? Untuk meredam konflik. Sebab konflik antar agama terjadi salah satunya karena sisi eksflusif dari agama-agama selalu dibenturkan. Loyalitas dan klaim kebenaran antar pemeluk agama yang kadang menyulut api konflik. Nah, pluralisme diperlukan, agar titik temu antar agama membuat setiap manusia merasa bersatu dan bersaudara meski berbeda-beda dalam iman dan keyakinan.

Saya kasih contoh paling gampang masih susah menangkap maksud saya karena kurang baca dan kurang ngaji: saya orang bugis dan teman saya orang Jawa. Saya berbeda dalam suku tapi bertemu pada identitas yang lain: sama-sama warga negara.

Agama pun begitu. Setiap agama berbeda bahkan tak sejalan pada dimensi eksoteris (aspek eksternal agama yang bersifat formalistik dan normatif). Tapi bisa bertemu dan menampilkan persamaan pada dimensi esoteris (dimensi internal agama yang bersifat hakiki, metafisik, yang menjadi sumber kebenaran universal).

Mari kita aplikasikan pemahaman pluralisme model seperti ini dalam konteks perayaan natal. Saya, misalnya, mengucapkan natal kepada umat nasrani sekadar menunjukkan rasa kemanusiaan dan persaudaraan karena secara substansial setiap manusia berasal dari sumber yang sama, menyatu dalam kesatuan wujud, berasal pencipta yang sama.

Tapi saya tidak harus masuk ke gereja dan mengikuti ritual natal bersama mereka karena hal tersebut sudah menyangkut dimensi eksoteris, aspek formalistik dan dogmatik dari agama.

Gitu. Itu kalau saya yah. Yang saya pahami yah pluralisme model begini.

Muhajir MA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

REDAKSI: JL. MINANGKABAU TIMUR NO. 19 A, KEL. PS. MANGGIS, KEC. SETIABUDI KOTA JAKARTA SELATAN - WA: 0856 9118 1460  
EMAIL: [email protected]
NKRIPOSTCO ©Copyright 2024 | All Right Reserved