Gerakan Anak Abah Tusuk Tiga Paslon di Pilkada Jakarta 2024 Tidak Bisa Dipidana, Jika Tidak Disertai Dengan Hal Ini!
Diterbitkan Senin, 16 September, 2024 by NKRIPOST
NKRIPOST JAKARTA – Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini menilai Gerakan “Anak Abah Tusuk Tiga Paslon” di Pilkada Jakarta 2024 tidak bisa dipidana jika tidak disertai ancaman dan politik uang atau imbalan kepada masyarakat untuk terlibat dalam gerakan tersebut.
Menurutnya, penggunaan hak pilih merupakan hak setiap warga negara yang berstatus sebagai pemilih.
Apalagi, kata Titi, mekanisme memilih dalam sistem pemilihan yang ada di Indonesia bersifat pemberian suara secara sukarela atau voluntary voting, seperti diatur dalam UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU HAM.
Tapi, lanjutnya, gerakan untuk tidak menggunakan hak pilih atau menggunakan hak pilih tidak sesuai ketentuan tetap bisa dipidana.
Pidana berlaku ketika gerakan itu disertai dengan adanya imbalan berupa uang, barang, jasa, atau materi lainnya, atau politik uang.
Selain itu, pidana juga dapat diberikan kepada pihak yang mengajak untuk golput, tidak menggunakan hak pilih, atau menggunakan hak pilih secara tidak sah, dengan menggunakan intimidasi kekerasan atau cara-cara yang melawan hukum.
Dalam Pasal 187A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada disebutkan bahwa setiap orang yang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih dapat dikenakan sanksi pidana.
Pidana itu berkisar antara 36-72 bulan dan denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
“Dalam hal ini, kita harus pastikan menggunakan atau tidak menggunakan hak pilih itu adalah hak dan tidak boleh ada orang yang dimanipulasi untuk menggunakan haknya itu, tidak boleh ada orang yang dipaksa untuk menggunakan atau tidak menggunakan. Semuanya harus berangkat dari kehendak sendiri atau bebas,” ujar Titi, Senin 16 September 2024.
BACA JUGA:
Dia menegaskan, jika gerakan untuk mencoblos tiga pasangan calon dilakukan secara damai, tanpa politik uang, intimidasi atau tekanan, serta tidak dengan penyebaran disinformasi dan hoaks, maka itu bisa dianggap sebagai bagian dari kebebasan berpendapat.
Karena itu, untuk melawan gerakan itu, pihak terkait harus melakukannya dengan cara yang baik.
“Proses pemilunya harus berjalan luber jurdil, kompetisinya harus kompetitif dan sehat, serta penegakan hukum harus efektif. Kalau ada pemilih yang memutuskan untuk tidak datang ke TPS atau memilih dengan cara yang dia inginkan, maka itu adalah kehendak bebas dari setiap warga negara yang punya hak pilih,” pungkas Titi.***(voi)