Rakor Pendidikan Berubah Menjadi Ajang Kontroversi, Kadisdikbud Kalsel Dituding Langgar Etika Merokok Di Ruang Rapat
Diterbitkan Rabu, 4 September, 2024 by NKRIPOST
NKRI POST BANJARBARU – Senin, 2 September 2024, yang seharusnya menjadi hari penuh harapan bagi peningkatan kualitas pendidikan di Kalimantan Selatan (Kalsel), berubah menjadi ajang perdebatan sengit antara adab dan kekuasaan.
Rapat Koordinasi (Rakor)Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan SMK tahap II, yang digelar oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Kalimantan Selatan, tiba-tiba berubah drastis menjadi medan tempur etika.
Segala sesuatunya tampak berjalan lancar ketika Amalia Wahyuni, salah satu peserta yang hadir, merasa terkesan dengan arahan panitia yang meminta peserta untuk tidak memainkan ponsel saat Kepala Disdikbud (Kadisdikbud) memasuki ruangan.
Pesan itu dianggap sebagai refleksi dari seorang pemimpin yang berwibawa dan disiplin, yang layak mendapatkan penghormatan penuh.
“Saya sangat menghargai arahan tersebut karena saya yakin, seorang pemimpin di bidang pendidikan harus menjadi contoh dalam sikap dan perilaku,” ujar Amalia ketika ditemui awak media di kediamannya, Selasa (3/9/2024).
Namun, ekspektasi Amalia runtuh seketika saat Kadisdikbud memasuki ruangan dengan cara yang mengejutkan. Alih-alih tampil rapi dan penuh wibawa, beliau datang dengan mengenakan sandal dan sebatang rokok menyala di tangan.
Di dalam ruangan ber-AC, asap rokok tersebut menyebar, mengganggu kenyamanan para peserta rapat yang seharusnya fokus pada pembahasan serius terkait masa depan pendidikan.
Amalia, dengan sopan, mencoba menegur Kadisdikbud.
“Mohon maaf Pak, saya tidak tahan dengan asap rokok,” ujarnya dengan harapan beliau akan memahami situasinya.
BACA JUGA:
Aliansi BEM Se-Asahan Bersama Cipayung Plus Geruduk Kantor DPRD Asahan
Demonstrasi Tolak RUU Pilkada di DPRD Kalsel Ricuh, Tiga Personel Polisi Luka-Luka
Namun, respons yang diterima jauh dari yang diharapkan. Kadisdikbud bukan hanya mengabaikan teguran tersebut, tetapi juga memerintahkan Amalia untuk keluar dari ruangan.
Ini menjadi momen di mana penghormatan terhadap bawahan seolah dianggap sepele, sementara menghormati atasan dianggap sebagai kewajiban mutlak.
Situasi semakin memanas ketika Kadisdikbud menanyakan tempat kerja Amalia, seolah ancaman digunakan sebagai alat untuk menunjukkan kuasa. Namun, Amalia tidak gentar.
“Bapak minta dihargai, namun bapak tidak menghargai saya,” jawabnya dengan tegas, menunjukkan keberanian luar biasa di hadapan atasannya.
Amalia menyadari bahwa tindakan beraninya ini mungkin akan berdampak serius, termasuk risiko pemecatan. Namun, ia tetap teguh pada prinsipnya.
“Jika karir saya sebagai guru harus berakhir karena hal ini, saya terima dengan lapang dada. Kebenaran akan selalu menemukan jalannya,” ungkapnya dengan penuh keyakinan.
Insiden ini memunculkan pertanyaan besar di kalangan peserta dan masyarakat: Apakah seorang pemimpin pendidikan, yang seharusnya menjadi teladan, bisa mempertontonkan perilaku yang jauh dari adab? Bagaimana bisa seseorang yang berada di dunia pendidikan menunjukkan sikap yang demikian?
Dalam situasi ini, Amalia menutup pernyataannya dengan kalimat yang menggetarkan,
“Ingatlah, Pak, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Utamakan adab di atas ilmu, karena tanpa adab, ilmu hanya menjadi tirani,”
Rapat yang awalnya diharapkan membawa solusi bagi kekerasan di lingkungan pendidikan, justru berubah menjadi cermin buram dari ketimpangan etika dan kuasa di dunia pendidikan.
Saat awak media mendatangi Kantor Dinas Pendidikan dan Budaya, untuk mengkonfirmasi masalah tersebut. Pihak keamanan mengatakan bahwa Kadisdikbud tidak berada di kantor.
“Bapak dari pagi tadi tidak ada ke kantor, dan saya tidak mengetahui beliau ada kegiatan dimana,” kata pihak keamanan yang enggan menyebutkan namanya.(Yusi)