Putusan Mahkamah Konstitusi Berlaku Sejak Palu Diketuk, KPU Harus Segera Melaksanakan Putusan MK
Diterbitkan Rabu, 21 Agustus, 2024 by NKRIPOST
NKRIPOST JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan ambang batas pencalonan kepala daerah dalam pilkada tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil pemilihan legislatif (Pileg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 20 persen kursi DPRD. Penurunan ambang batas itu tertuang dalam putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dibacakan di Gedung MK pada Selasa, 20 Agustus 2024.
MK memutuskan ambang batas pilkada akan ditentukan perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik yang dikaitkan dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 di masing-masing daerah. Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu 10 persen; 8,5 persen; 7,5 persen; dan 6,5 persen sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.
Putusan MK tersebut mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk ahli hukum tata negara, pengamat, dan organisasi pemantau pemilu.
Mahfud Md: KPU Harus Melaksanakan Putusan MK
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus segera melaksanakan putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah di pilkada.
“Sehingga masyarakat yang di daerah itu tenang. Masih ada waktu sembilan hari lagi untuk menyiapkan segala sesuatunya dan supaya diingat bahwa putusan MK itu berlaku sejak palu diketuk,” kata Mahfud di kawasan Senen, Jakarta Pusat pada Selasa, 20 Agustus 2024 seperti dikutip dari Antara.
Menurut Mahfud, putusan MK tersebut harus diterapkan pada pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 karena hasil pemilu sebelumnya yang dimaksud adalah Pemilu 2024.
“Pemilu sebelumnya kan sekarang ini (Pemilu 2024). Oleh sebab itu, harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,” ujarnya.
Mantan calon wakil presiden pada Pemilu 2024 ini mengatakan putusan MK tersebut merupakan hal yang baik dan demokratis, sehingga dapat meminimalkan potensi terjadinya kotak kosong. Terlebih, dia pernah menyampaikan soal penurunan ambang batas itu dalam sebuah Rapat Dengar Pendapat di DPR RI pada 2018.
“Pertama, dulu saya bicara threshold (ambang batas) untuk presiden (pilpres). Lalu yang kedua, bicara untuk pilkada. Kalau memang calon perseorangan itu boleh 6 persen, misalnya, atau boleh 10 persen, maka partai politik dan gabungannya boleh dong 10 persen karena dia lebih real,” kata dia.
“Oleh sebab itu, menurut saya, partai politik itu disejajarkan dengan calon perseorangan persyaratannya, dan ini yang dulu sudah pernah saya katakan karena itu tidak pernah menciptakan keadilan,” ujarnya menambahkan.
KIPP: Tak Ada Norma Hukum Lain yang Bisa Menentang Putusan MK
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, mengatakan tidak ada lagi norma hukum lain yang bisa menentang putusan MK. Putusan MK merupakan hasil koreksi terhadap perundang-undangan. Putusan MK sifatnya mengikat dan final, sehingga putusan itu harus menjadi acuan semua pihak.
Kaka menanggapi isu yang menyebutkan Badan Legislasi DPR akan menggelar rapat setelah MK menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah.
“Bila ada Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) dan UU baru itu sama saja melakukan perlawanan hukum terhadap putusan MK,” kata Kaka, Selasa, 20 Agustus 2024.
Menurut Kaka, Perppu sekalipun tidak bisa menganulir putusan MK. Penerbitan Perppu juga tak bisa dilakukan karena tak memenuhi syarat, yakni tak ada keadaan mendesak.
Kaka meminta semua pihak mematuhi putusan MK. Pemerintah dan partai politik di parlemen jangan sampai melakukan tindakan melawan konstitusi. “Kalau dilakukan akan terjadi lagi ancaman terhadap demokrasi,” kata Kaka.
BACA JUGA:
Mahkamah Konstitusi Putuskan Ubah Aturan Pilkada, Begini Respon PDIP
Consid: Putusan MK Pertanda Baik bagi Masa Depan Demokrasi
Constitutional Democracy Initiative (Consid) menilai putusan MK tentang perubahan ambang batas pencalonan pilkada adalah pertanda baik bagi masa depan demokrasi. Ketua Consid, Kholil Pasaribu, mengatakan rakyat nyaris kehilangan kepercayaan belakangan ini pada proses demokratisasi dengan perilaku para elite partai politik dalam pencalonan kepala daerah yang cenderung mengarah pada politik kartel.
“Tentu saja putusan ini perlu disambut gembira dan MK layak diberikan apresiasi karena putusan ini keluar di tengah semakin menguatnya politik kartel dalam pencalonan kepala daerah,” ucap Kholil dalam keterangan resmi di Jakarta pada Selasa, 20 Agustus 2024.
Kholil mengatakan putusan MK itu telah mengubah basis persyaratan yang harus dipenuhi oleh parpol atau gabungan parpol dalam mendaftarkan pasangan calon kepala daerah dari perolehan kursi atau akumulasi perolehan suara sah menjadi hanya perolehan suara sah dengan menetapkan besaran persentasenya.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan perubahan basis syarat pencalonan untuk keadilan dan kesetaraan dengan syarat pencalonan bagi bakal calon perseorangan.
Kholil menjelaskan perbedaannya, yakni jika bakal calon perseorangan basisnya merupakan jumlah penduduk dalam DPT, maka untuk jalur parpol basisnya merupakan perolehan suara sah yang menyesuaikan dengan jumlah penduduk dalam DPT di provinsi atau kabupaten/kota.
Mengingat sifat putusan itu final dan mengikat serta berlaku seketika setelah dibacakan, maka dia menyebutkan parpol bisa menjadikan putusan MK itu sebagai dasar mengajukan paslon tanpa harus tersandera oleh kepentingan yang berasal dari luar partai.
“Itulah sebabnya diharapkan putusan MK bisa menjadikan para elite parpol kembali ke jati dirinya, berdaulat dalam mengambil keputusan dengan menjadikan suara rakyat sebagai basis pertimbangannya,” tuturnya.
Pengamat Politik Cecep Hidayat: Putusan MK Mengubah Konstelasi Politik Pilkada 2024
Adapun pengamat politik Universitas Indonesia Cecep Hidayat mengatakan Putusan MK soal Ambang batas pencalonan pilkada mengubah konstelasi politik Pilkada 2024, termasuk pemilihan gubernur atau Pilgub Jakarta.
“Dengan perubahan ini berarti untuk Jakarta minimal hanya bisa mengajukan jika sudah ada 7,5 persen perolehan suara legislatif sebelumnya. Dampaknya adalah PDI Perjuangan bisa mengajukan calon sendiri,” kata Cecep saat dihubungi dari Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024 seperti dikutip dari Antara.
Dia mengatakan, berdasarkan hasil Pemilu 2024, terdapat 11 partai yang memperoleh kursi DPRD Provinsi Jakarta, tetapi hanya PDIP yang belum mengusung bakal pasangan calon untuk Pilkada Jakarta sementara 10 partai lainnya memutuskan mendukung Ridwan Kamil-Suswono.
“PDIP sendiri karena berdasarkan regulasi sebelumnya itu harus 25 persen suara, dan 20 persen kursi (untuk mengusung bakal pasangan calon). Itu kan tidak memenuhi ya,” kata dia.**