MK Putuskan Menteri Maju Capres Tak Harus Mundur Di Apresiasi Gerindra
Diterbitkan Selasa, 1 November, 2022 by NKRIPOST
NKRIPOST, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan membolehkan menteri yang ingin maju sebagai calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) tidak perlu mundur dari jabatannya.
Menanggapi putusan tersebut, Wakil Ketua DPR yang juga Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyambut positif putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan menteri ingin maju calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) tidak perlu mundur dari jabatannya jika sudah mendapatkan izin dari presiden.
Menurut Dasco, secara etika, seorang menteri memang harus izin terlebih dahulu kepada presiden ketika hendak maju Pilpres.
“Yang pertama menteri itu memang adalah pembantu presiden, sehingga apabila kemudian mau nyapres, mau cuti memang selayaknya minta izin kepada presiden,” kata Dasco ditemui dikutip Kompas, Selasa (1/11/2022).
Dasco mengatakan, dengan putusan MK tersebut, maka tidak akan mengganggu langkah menteri menuju pencapresan.
Namun, ia mengingatkan bahwa menteri itu harus mendapatkan izin dahulu dari presiden.
“Kami sambut baik putusan MK, di mana menteri-menteri yang akan maju sebagai calon presiden bisa leluasa bertarung di kancah pemilu, tentunya dengan seizin presiden,” katanya.
Di sisi lain, Dasco menilai bahwa kampanye politik dari menteri itu tidak akan mengganggu kerja di pemerintahan.
Menurutnya, hal ini karena peraturan masa kampanye yang sudah diketok palu, yakni hanya tiga bulan dan tidak dilakukan setiap hari secara fisik.
“Ada sebagian fisik, ada sebagian virtual, dan ada kalanya bisa cuti kampanye dan bisa sambil kerja. Sehingga, menurut kami tidak akan terlalu terganggu ya proses proses pekerjaan menteri dan juga dalam menjalani tahapan pemilu,” kata Ketua Harian DPP Partai Gerindra itu.
Diketehui Putusan terebut berdasarkan permohonan dari Partai Garuda yang menguji Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu.
Berikut isi Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu:
“Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu atau gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.”
Ketua MK Anwar Usman mengabulkan permohonan tersebut. Anwar menjelaskan, menteri boleh tidak mengundurkan diri dari jabatannya jika ingin maju sebagai capres maupun cawapres. Akan tetapi, mereka harus mendapat izin dari Presiden.
BACA JUGA:
Prabowo Subianto Diserang Hoaks Mundur Capres, Partai Gerindra Angkat Bicara
Katherine Oendoen: Gerindra Dorong Petani Harus Profesional, Menuju Kedaulatan Pangan
Raja Juli Antoni : Setiap Parpol Miliki Hak yang Sama Usung Capres Cawapres
Berikut isi jawaban MK dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi:
Persyaratan bagi pejabat negara untuk mengundurkan diri ketika hendak mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mendapatkan tafsir baru. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota, termasuk menteri dan pejabat setingkat menteri, sepanjang menteri dan pejabat setingkat menteri mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari Presiden”. Demikian amar Putusan Nomor 68/PUU-XX/2022 yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang digelar pada Senin (31/10/2022) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan frasa “menteri dan pejabat setingkat menteri” dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan “pejabat negara” dalam ketentuan ini adalah: a. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung; b. Ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan, kecuali hakim ad hoc; c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; d. Ketua, wakil ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; e. Ketua, wakil ketua dan anggota Komisi Yudisial; f. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; g. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; dan h. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang,” ucap Anwar membacakan putusan dari perkara yang diajukan oleh Partai Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda).
Dalam pertimbangan Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah menilai perspektif warga negara yang mengemban jabatan tertentu, pada dirinya melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih sepanjang hak tersebut tidak dicabut oleh undang-undang atau putusan pengadilan. Oleh karena itu, sambungnya, terlepas dari pejabat negara menduduki jabatan dikarenakan sifat jabatannya atas dasar pemilihan ataupun atas dasar pengnagkatan, suharusnya hak konstitusional dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih maupun memilih tidak boleh dikurangi.
Persoalan selanjutnya terhadap pendirian Mahkamah pada Putusan MK Nomor 41/PUU-XII/2014 dan 33/PUU-XIII/2015, serta 45/PUU-XV/2017 yang menyatakan Pegawai Negeri Sipil, Pegawai BUMN/D, dan anggota legislatif harus mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala dan wakil kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini menurut Mahkamah berkaitan dengan persoalan netralitas yang berpotensi pada penyalahgunaan kewenangan. Pada putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022, Mahkamah telah menegaskan tidak membedakan rezin pemilu dan pilkada. Maka, untuk menenpati jabatan politik tersebut Mahkamah memiliki pertimbangan lain dengan persoalan konstitusionalitas norma pada Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu.
Bahwa dalam perspektif akan ada kekhawatiran kemelekatan jabatan pada pejabat yang dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden sehingga diwajibkan mengundurkan diri, Mahkamah menilai hal demikian tidak berbanding lurus dengan perlindungan hak konstitusional yang dimiliki pejabat tersebut. terlebih, untuk mendapatkan jabatan tersebut, seorang pejabat memerlukan perjalnan karir yang panjjang. Dengan demikian, tanpa harus mengundurkan diri kematangan profesionalitas pejabat masih dapat digunakan bagi kontribusi pembangunan bangsa dan negara, kendati pejabat tersebut kalah dalam kontestasi pemilu presiden dan wakil presiden.
“Adanya perlakuan berbeda terhadap Menteri atau pejabat setingkat Menteri sebagai pejabat negara yang diharuskan mengundurkan diri sebagaimana ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu, menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional. Maka, pembatasan tersebut adalah bentuk diskriminasi terhadap partai politik saat mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon presiden dan wakil presiden. Ditambah pula, hal demikian menurut Mahkamah juga dapat menciderai hak konstitusional partai politik dari perlakuan yang bersifat diskriminasi sebagaimana yang dijamin dan dilindungi Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Sehubungan dengan frasa ‘pejabat negara’ pada Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu yang didalilkan Pemohon, Mahkamah dalam pertimbangannya terhadap syarat pengunduran diri pejabat negara, termasuk menteri tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Oleh karenanya, ketentuan pasal a quo harus dimaknai secara bersyarat,” ucap Arief dalam sidang yang dalam pembacaan pertimbangan Mahkamah bergantian dengan Wakil Ketua MK Aswanto.
Demi kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, sambung Arief, Menteri atau pejabat setingkat Menteri yang merupakanpejabat negara yang dikecualikan, apabila dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon presiden dan wakil presiden, maka harus mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden.
Selanjutnya mengenai Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu, atas pemaknaan baru dari norma ini, maka tidak dipersyaratkan mebgundurkan diri sebagai suatu bentuk konsekuensi yurudis sepanjajng frasa “menteri dan pejabat setingkat menteri” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU Pemilu harus dinyatakan tidak ada relevan untuk dipertahankan lagi. Sehingga harus dinyatakan inkonstitusional. Menimbang berdasarkan uraian tersebut, pasal dan penjelasan pasal a quo telah ternyata menimbulkan diskriminasi sebagaimana termuat ditentukan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Alasan Berbeda
Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi Saldi Isra memiliki alasan berbeda dengan dikabulkan sebagian permohonan tersebut. Menurutnya, Bahwa dalam pemerintahan dengan sistem presidensial pengangkatan dan pemberhentian Menteri merupakan otoritas konstitusional presiden. Oleh karenanya, dalam pemerintahan presidensial dikenal praktik presiden memilih menteri dan meneri bertanggung jawab pada presiden. Jika hal ini ditempatkan pada sistem di Indonesia, maka otoritas presiden dalam mengisi kabinet sangat besar. Secara tekstual, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 memposisikan menteri sebagai pembantu presiden. Sehingga presiden tidak memerlukan persetujuan dari lembaga perwakilan. Hal ini juga ditegaskan Pasal 3 UU Nomor 3 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Sebagai pembantu presiden, dalam praktik sistem presidensial tidak banyak kajian mengenai keadaan jika seorang meneri maju sebagai calon presiden dan wakil presiden. Singkatnya, Saldi berpandangan larangan untuk mengajukan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden baru diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Intinya, permintaan izin pada presiden dalam rangka menegakkan etika penyelenggaraan pemerintahan. Terhadap penjelasan “larangan” dan “pembatasan” ini bahwa pemilu presiden dan wakil presiden menjadi suatu upaya untuk menghasilkan pemimpin yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik.
“Dalam hal pengunduran diri para pejabat tersebut, termasuk menteri semata-mata dilakukan untuk kelancaran pemerintahan dan terwujudkan etika politik ketatanegaraan. Sebab, tanpa dilakukan pembatasan terhadap menteri yang ingin maju pada kontestasi politik demikian akan menimbulkan dilematis dan berpotensi merusak bangunan sistem pemerintahan presidensial,” jelas Saldi.
Atas hal ini, Saldi melihat anomali sedang menghinggapi praktik sistem presidensial di Indonesia kondisi ini akan semakin sulit dipahami jika anggota kabinet mengalahkan presiden incumbent. Hal yang akan terjadi dalam masa lame duck ini, calon presiden yang merupakan anggota kabinet berhasil memenangkan kontestasi pemilihan, sedangkan presiden incumbent masih melanjutkan sisa masa jabatan hingga selesai masa jabatannya. Untuk menghindari hal ini Saldi berpendapat jika tidak ada pembatasan maka dapat saja dua atau lebih menteri yang diajukan sebagai calon presiden dan wakil presiden. Sehingga sangat mungkin terjadi rivalitas antarkementerian yang terjebak dalam memberikan dukungan terhadap satu dengan yang lainnya. Sehingga, perlu dicarikan titik kesetimbangan baru antara normalitas penyelenggaraan sistem presidensial agar tidak terjebak dengan dalil hak konstitusional warga negara untuk dipilih termasuk sebagai presiden dan wakil presiden.
“Kesetimbangan baru ini diharapkan dapat memerikan kesempatan pada Menteri atau pejabat setingkat menteri untuk mengajukan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sepanjang pengusulan menteri yang bersangkutan mendapat persetujuan dari presiden dan non-aktif atau cuti sebagai menteri terhitung sejak ditetapkan sebagai calon sampai selesainya tahapan pemilu presiden dan wakil presiden,” jelas Saldi.
Untuk diketahui, Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Sekretaris Jenderal Partai Garuda Yohanna Murtika menguji Pasal 170 ayat (1) frasa “pejabat negara” UU Pemilu. Pemohon mendalilkan bahwa menteri adalah pejabat negara yang tidak dikecualikan untuk mengundurkan diri dalam jabatannya apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden oleh Pemohon atau gabungan partai politik. Menteri yang saat ini tengah menjabat dalam Kabinet Indonesia Maju, juga Pemohon yang mengusung menteri untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden, potensial mengalami kerugian konstitusional menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Berbeda halnya dengan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, walikota atau wakil walikota, apabila dicalonkan sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden hanya memerlukan izin kepada Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 171 ayat (1) UU Pemilu. Perlakuan berbeda antara menteri dengan dengan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota apabila dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden oleh Pemohon, juga telah mencederai dan menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon, sebagaimana yang dijamin dan dilindungi berdasarkan ketentuan Pasal 22E Undang Undang Dasar Tahun 1945. Untuk itu, frasa “pejabat negara” dalam Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pejabat Negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta https://youtu.be/lfDX_XJwnrkPemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Menteri dan pejabat setingkat menteri, dan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati Walikota dan Wakil Walikota”. (*)