Basilio Dias Araujo Hadiri 50 Tahun Anniversary Apodeti, Ajak Tokoh Timor Timur Pikirkan Cara Sejaterahkan Rakyat
Diterbitkan Selasa, 28 Mei, 2024 by NKRIPOST
NKRIPOST JAKARTA — Sejumlah Tokoh warga kelahiran Provinsi Timor – Timur menggelar kegiatan peringatan hari ulang tahun (HUT) ke 50 Tahun Annivesary Asosiasi Demokratik Rakyat Timor (Apodeti) yang merupakan sebuah partai politik di Timor Timur yang didirikan pada tahun 1974, yang dulu menginginkan integrasi dengan Indonesia.
Konsolidasi dan revitalisasi Organisasi Politik Apodeti sebagai dasar pilihan warga Timor Potugis menjadi WNI dengan merencanakan dan mencanangkan kegiatan dalam rangka peringatan 50 tahun lahirnya partai Politik Apodeti pada senin (27/5/2024) di Cafe Until Tomorrow di Jalan Tebet Timur Dalam Rays Nomor 99, Tebet Dalam, Kota Jakarta Selatan.
Kegiatan yang di inisiasi oleh Pengacara Joao Meco ini dihadiri sejumlah tokoh diantaranya, Mantan Dubes RI untuk Mozambik Bapak Tito dos Santos Baptista, Herminio da Silva da Costa, A. Ananias Aty Boy, Batista Sufa Kefi dan Basilio Dias Araujo serta Florencio Mario Vieira dan sejumlah besar tokoh yang hadir dari berbagai daerah melalui video zoom.
Basilio Dias Araujo dalam sambutannya mengaku tidak banyak mengetahui perjuangan partai politik Apodeti dalam memperjuangkannya integrasi Timor Timur terhadap Indonesia.
“Saya Bukan Apodeti, karena pada tahun 1975 saya masih kecil. saya sendiri tidak tahu perjuangan pada waktu itu seperti apa. Tetapi dari pengalaman saya sebagai generasi muda tahun 1999, saya selama 2 tahun menampingi Pak Abilio sebagai Pak Gubernur pada waktu itu sebagai penerjemah beliau, jadi setiap kali ada duta besar dari luar negeri datang, beliau selalu menjelaskan mengenai apa Apodeti, Apa itu perjuangan Apodeti dan Apa itu manifesto politik Apodeti. Nah disitulah saya kemudian kenal dengan apa yang disebut dengan organisasi politik yang dikenal dengan Apodeti itu.” Ujar Basilio di Cafe Until Tomorrow di Jalan Tebet Timur Dalam Rays Nomor 99, Tebet Dalam, Kota Jakarta Selatan, senin (27/5).
Hal-hal sangat mendasar menurut Basilio dari konsep Apodeti itu adalah, “Kami tidak mau menyerahkan diri ke Indonesia. Tetapi kami ingin berkiblat seperti Indonesia”.
“Pada tahun-tahun setelah integrasi itu, ada banyak senior yang kemudian tidak setuju dengan konsep integrasi yang ada itu, antara lain, Pak Abilio itu pernah disiksa oleh tentara, Pak Erminio juga pernah disiksa oleh tentara Indonesia. Malah dipenjarakan. Artinya, ya ini menunjukkan bahwa banyak sekali tokoh-tokoh senior kita pada zaman itu yang tidak menerima dengan konsep yang terjadi pada waktu tahun setelah 1975 itu.” Jelasnya.
“Nah, kita pernah dengar, Pak Lopes Da Crus pernah berontak juga, yang namanya Manukokorek. Itu juga sama, mereka semua tidak puas dengan kenyataan yang mereka hadapi. Bahkan gubernur kita pertama, Pak Arnaldo juga sama. Jadi, bukan itu bukan keadaan seperti tahun-tahun setelah 1975 yang mereka hadapi, itu yang mereka mau. Jadi, mereka maunya itu, ya kita hidup seperti Indonesia. Bukan menyerahkan diri habis-habisan,” Tambahnya.
BACA JUGA :
Basilio Dias Araujo Resmi Daftar Di Gerindra Dan PKS Untuk Maju Pilkada Belu
Brigjen Antoninho Rangel Da Silva, Putra Asli Timor Timur Resmi Jabat Danrem 151/Binaiya Ambon
Mengenal Basilio Dias Araujo, Rekam Jejak dan Segudang Pengalaman Mengabdi Pada Negara Indonesia
Lebih lanjut kata Bakal Calon Wakiĺ Bupati Belu ini mengatakan, konsep Otonomi Khusus yang ditawarkan pada tahun 1999 kepada masyarakat Timor Timur saat itu merupakan konsep manifesto politik Apodeti
“Pada tahun 1999 itu, kita melahirkan yang namanya konsep otonomi. Kembalikan ke yang namanya manifesto Apodete itu. Kita ingin mengelola diri kita sendiri. Makanya kita lahirkanlah yang namanya otonomi khusus itu. Jadi, sama seperti kewenangan Pemerintah Indonesia itu, otonomi daerah yang ada sekarang, hanya beberapa kewenangan yang dikuasai oleh Pemerintah Pusat, kita menguasai seluruhnya. Bahkan Pimpinan TNI atau Polri mau ditempatkan di Timor-Timur pun,” Tutur Basilio.
“Nah, itu kira-kira konsep Apodete yang kemudian dicoba diterjemahkan dalam konsep otonomi tahun 1999. Saya terus terang, sebagai pribadi dan juga sebagai penulis ya, saya menyatakan sangat hebat sebenarnya tokoh-tokoh kita pada tahun 1974-1975. Bukan hanya tokoh-tokoh Apodete, tapi semua tokoh Tim-Tim, baik yang Apodeti, UDT, Fratellin ASDT, Kota, Trabelista, kita harus mengajukan jempol kepada mereka semua karena mereka semua itu mencoba membebaskan rakyat kita dari jajanan Portugis. Hanya konsepnya kemudian beda-beda.” Tambahnya.
Jadi sebenarnya yang namanya integrasi itu hanya kendaraan, kata Badilio, Tujuan utama dari semua pimpinan pada tahun 1975 adalah bagaimana cara mensejahterakan rakyat Tim-Tim,
Semua mencoba mencari konsep dengan kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki pada tahun 1975 itu. mereka mencoba mencari konsep bagaimana cara kita mensejahterakan rakyat kita dan membebaskan rakyat kita dari jajanan Portugis.” Jelasnya.
“Kemudian kehebatan mereka pada tahun 1975 itu adalah semua itu memilih opsi sesuai dengan konvensi PBB. Konvensi PBB mengenai dekolonisasi. Saya pernah tanya sama kawan-kawan, apa benar para senior itu sepintar itu pada tahun 1975 itu? Di mana mereka sudah baca nama konvensi PBB. Kenapa? Iya. Saya nggak percaya gitu. Walaupun saya tahu Pak Titu, Pak Herminio Mungkin memang mereka sudah punya akses kepada konvensi PBB mengenai dekolonisasi.” Urainya melanjutkan.
“Lebih jauh lagi, saya sendiri sebenarnya saya sangsi mengenai perjuangan tahun 1959, Apa orang tua kita pada tahun 1959 sudah sepintar itu? Sudah mengenal dunia lain, Sehingga mereka bisa memperjuangkan yang namanya membawa bendera merah putih masuk ke Timur Timur. Ataukah kita itu hanya korban dari intelijen Indonesia gitu? Nah jadi saya minta maaf ya, ini saya bicara scientific ya. Saya bertanya, apakah iya orang tua kita pada tahun 1959 sudah sepintar itu? Ataukah para komunis yang lari dari Indonesia itu, yang masuk ke Timur – Timur, kemudian membawa konsep itu? Jadi mereka masuk ke sana, intelijennya ikut. Nah kita kemudian dicuci otaknya gitu kan.” Ucapnya.
“Saya tentu sebagai penulis memberikan ini sebagai satu pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka dan saya minta kepada senior-senior yang punya pengalaman sejarah mungkin, ya bisa menyatakan bahwa tidak, memang kami sudah pintar pada waktu itu. Ya silakan, silakan kita bicara secara scientific. tetapi, itulah kesangsian saya mengenai perjuangan integrasi.”Ungkapnya.
“Tetapi saya melihatnya, pokoknya semua partai politik pada tahun 1975 itu adalah mencari cara-cara bagaimana bisa mensejaterahkan rakyat kita. Nah kebetulan memang Apodete contoh yang paling masuk akal bagi organisasi Apodeti untuk menjajahatakan rakyat Timur-Timur adalah mengambil konsep Indonesia. Mengadopsi konsep Indonesia. Makanya mereka pilih bendera merah putih. Lalu apa Apodeti masih mau tetap minta bantuan kepada Portugal, dipersiapkan dulu, nanti kalau kita sudah pintar semua, 20 tahun kemudian baru kita bisa melepas bendera dari Portugis.”Ulasnya.
“Kota dan Trabalista, kalau tidak salah yang mau minta kita bergabung ke Australia. Jadi itu semua adalah cara yang dicoba oleh para politisi kita dari semua partai, bagaimana caranya bisa mensejaterahkan rakyat kita. baru kemudian ada partai Fretelin yang mengatakan langsung merdeka saja, Makan batu juga tidak apa-apa yang penting mendeka, kira-kira seperti itu.” Jelasnya melanjutkan.
“Nah artinya saya melihat integrasi itu hanyalah kendaraan untuk kita bisa mensejaterahkan rakyat kita. Nah pertanyaan adalah sekarang kita sudah berada di Indonesia. Apakah kita berada di Indonesia itu adalah tujuan akhir kita? Bagi saya tidak, Saya tidak berjuang untuk tinggal di Jakarta, Saya tidak berjuang untuk tinggal di NTT. Kita kan berjuang untuk rakyat kita kan begitu, Jadi pada tahun 1999, kita keluar dari Timur Leste itu bukan melarikan diri. Bukan mencari kehidupan lain di luar Timur Timur. Pada tahun 1999, itu kita hanya menyelamatkan rakyat kita dari pembunuhan masal yang bisa terjadi yang tidak bisa kita perhitungkan. Bisa Satu generasi habis. Nah, jadi keputusan kita untuk keluar dari timur-timur itu adalah untuk menyelamatkan satu generasi. Karena kalau tidak ada yang keluar, kita pasti perang habis-habisan. Bunuh-bunuhan kita. Nah, maka, jadi kita datang ke Indonesia ini bukan tujuan akhir. Kita ke Indonesia itu hanya untuk menyelamatkan rakyat kita supaya tidak mati pada tahun 1999.”Urainya.
“Nah, sekarang mari kita bicara bersama ini, bicarakan perjuangan kita adalah mensejaterahkan rakyat kita. namanya perjuangan kan ada yang menang, ada yang kalah. sekarang tinggal kita bicarakan bersama, lalu konsepnya bagaimana? Nah, itu bukan saya sendiri. Itu harus ada kesepakatan kita bersama. Kedepannya bagaimana? Apakah di sini? Apakah di sana? Apakah di mana? Kita bicarakan bersama Karena keputusan untuk mensejahterakan rakyat Timur bukan saya sendiri. Itu harus kesepakatan semua orang.”Ajak Basilio.
Ditempat yang sama, Inisiator 50 Tahun Annivesary Apodeti Joao Meco mengatakan, keberadaan masyarakat Timor Timur saat ini di Indonesia merupakan bentuk nyata perjuangan Apodeti.
“Suka tidak suka, Saat ini kita berada di Indonesia merupakan perjuangan Apodeti. Tapi kalau ada yang tidak mau mengakuinya, itu juga merupakan pendapat mereka, kita tidak bisa memaksa.” Ujar Joao Meco.
BACA JUGA
Profil Basilio Dias Araujo, Pejuang Integrasi Timor Timur Maju Calon Wakiĺ Bupati Belu NTT
Basilio Dias Araujo Silaturahmi Dengan Fadly Zon
50 Tahun Annivesary Apodeti, Sejumah Tokoh Timor Timur Gelar Konsolidasi dan Revitalisasi
Sejarah Apodeti
Pada 27 Mei 1974, didirikan sebuah partai politik di Timor Timur bernama Associacao Popular Democratica Timorense atau disingkat APODETI.
Partai APODETI dibentuk dengan tujuan untuk memperjuangkan integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada akhirnya, keinginan Partai APODETI pun tercapai dengan dibentuknya UU yang menyatakan bahwa Timor Timur secara resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia pada 17 Juli 1976.
Namun, keberadaan partai ini perlahan menghilang setelah Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia dan memilih merdeka menjadi negara Timor Leste.
Pada 27 Mei 1974, Arnaldo dos Reis Araújo memutuskan untuk mendirikan sebuah partai politik di Timor Timur yang bernama APODETI.
Arnaldo dos Reis Araújo adalah pejuang dari Timor Timur yang selalu ingin membebaskan kampung halamannya dari pendudukan bangsa Portugis.
Dalam manifesto aslinya, APODETI menyerukan integrasi otonom ke Indonesia, serta menganjurkan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Timor Timur.
BACA JUGA :
Profil Basilio Dias Araujo, Pejuang Integrasi Timor Timur Maju Calon Wakiĺ Bupati Belu NTT
Timor Leste Selangkah Lagi Jadi Anggota Penuh ke-11 ASEAN
Alex Martins Ajak Warga Eks Timor Timur Tanggalkan Ego Dukung Kongres UNTAS 2022
Terbentuknya APODETI sendiri merupakan salah satu buntut dari terjadinya Revolusi Anyelir atau peristiwa kudeta militer yang terjadi di Lisbon, Portugal, pada 25 April 1974.
Revolusi tersebut dilakukan sebagai bentuk perayaan lepasnya rezim otoriter yang berubah menjadi demokrasi bagi penduduk Portugis.
Dampak dari adanya Revolusi Anyelir tidak hanya dirasakan oleh penduduk Portugal, melainkan juga wilayah-wilayah jajahannya, termasuk Timor Timur.
Peristiwa itu memicu lahirnya partai-partai politik di Timor Timur. Selain APODETI, ada juga Fretilin dan Uni Demokrat Timur (UDT).
Tujuan Partai
Partai APODETI sendiri adalah untuk mengupayakan Timor Timur bergabung dengan Indonesia sebagai provinsi otonom. Baca juga: Integrasi Timor Timur ke Indonesia masa Orde Baru
Peran dalam proses integrasi Timor Timur Popularitas dari Partai Apodeti kalah jauh dibandingkan dengan Partai Fretilin, yang pro-kemerdekaan, dan UDT, yang lebih moderat.
Perbedaan misi dari ketiga partai politik tersebut menimbulkan perseteruan sengit hingga menyebabkan APODETI menjadi partai yang paling menderita. Bahkan, pada Agustus 1975, tokoh APODETI sempat ditangkap oleh Fretilin.
Memasuki bulan September 1975, Fretilin berhasil mengambil alih kekuasaan di Timor Timur.
Keunggulan Fretilin ini membawa mereka melakukan proklamasi kemerdekaan Timor Timur dari Portugal pada 28 November 1975.
Menanggapi peristiwa tersebut, Indonesia melaporkan bahwa politisi APODETI, yakni Dom Guilherme Goncalves dan Alexandrino Borromeo, telah menandatangani Deklarasi Balibo.
Deklarasi Balibo adalah pernyataan oleh perwakilan masyarakat Timor Timur untuk bergabung dengan Indonesia.
Deklarasi tersebut disampaikan oleh Xavier Lopez da Crus pada 30 November 1975 di Balibo, Timor Leste.
Dalam sidang pleno DPR-RI tanggal 15 Juli 1976, dibuat sebuah undang-undang yang memuat tentang penyatuan Timor Timur ke NKRI sekaligus pembentukan Timor Timur sebagai provinsi Indonesia ke-27.
Secara simbolis, Presiden Indonesia menyerahkan duplikat bendera pusaka kepada FX Lopes da Cruz dan Arnaldo dos Reis Araujo.
Setelah itu, pendiri sekaligus ketua umum APODETI, yakni Arnaldo dos Reis Araujo, diangkat sebagai gubernur pertama Timor Timur.
Pembubaran
Setelah proses intergrasi, APODETI menekankan bahwa tujuannya adalah untuk mengamankan kelangsungan hidup Timor Timur sebagai provinsi otonom Indonesia dan sangat menentang aneksasi dengan kekerasan. Dalam deklarasi publik di Kongres CNRT pada Agustus 2000, APODETI menerima hasil Referendum kemerdekaan Timor Leste 1999.
APODETI kemudian menjadi anggota CNRT dan bekerja di Dewan Nasional. Pada pemilu pertama Parlamento Nacional di Timor Leste, APODETI menerima 0,60% suara parlemen. Namun, pada pemilihan parlemen Timor Leste 2007, APODETI tidak mencalonkan diri dan partai ini diperkirakan sudah tidak ada lagi.***