NKRIPOST

NKRIPOST – VOX POPULI PRO PATRIA

Pemerintah Kabupaten Bogor Mengucapkan Selamat Hari Pers Nasional: Mengawal Transisi Kepemimpinan Nasional dan Menjaga Keutuhan Bangsa

Listen to this article

Diterbitkan Jumat, 9 Februari, 2024 by NKRIPOST

Benyamin Constant (1767-1834) pernah berkata: “Dengan surat kabar, kadang-kadang muncul kericuhan, tapi tanpa surat kabar akan selalu muncul penindasan”

Pers sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Walaupun berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Karenanya, kebebasan pers menjadi salah satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara.

Dalam iklim kebebasan pers, dapat dikatakan bahwa pers bahkan mempunyai peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi lain yang berpotensi melakukan abuse of power. Demokrasi akan berkembang dengan baik jika pers juga berkembang dengan baik. Karena itu pers harus menjaga hati nurani untuk menjaga keberlangsungan demokrasi.

Pers sebagai pilar keempat demokrasi, juga telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu pers diharapkan bisa menjalankan fungsi kontrol bila melihat terjadi penyimpangan terhadap demokrasi dan hukum. Dan harus dipahami bahwa dalam menjalankan fungsinya tersebut akan menempatkan pers sebagai sasaran dan target yang mudah diserang oleh pihak-pihak tertentu yang berusaha membatasi demokratisasi.

Sistem Pers di suatu negara mengikuti sistem negara di mana pers itu beroperasi. Dalam istilah Fischer dan Merrill sistem pers merupakan pencerminan sistem politik di negara yang bersangkutan. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa pada saat tertentu pers bisa otoriter seperti di Rusia, namun pada saat yang lain pers bisa bersikap demokratis seperti di Amerika.

Tonggak kebebasan Pers di Indonesia terjadi dengan keluarnya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di mana negara mengeluarkan kebebasan yang dikenal paling demokratis di dunia, karena negara telah membebaskan kehidupan pers dari campur tangan negara. Melalui kelahiran UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini, maka: a) negara menghapuskan pemberlakuan surat izin penerbitan usaha pers (SIUPP), b) menghapuskan lembaga sensor terhadap pers, dan c) menghapuskan sistem bredel.

Konsideran menimbang huruf (c) UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers menegaskan bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;

Pasal-pasal yang menegaskan kemerdekaan, fungsi dan pentingnya pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 adalah

Pasal 2 : Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Pasal 3 ayat (1): Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Pasal 6 : Pers nasional melaksanakan peranannya:

memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinnekaan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Ada pun Kemerdekaan pers diatur dalam:

Pasal 4 ayat (1) : Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,

Pasal 4 ayat (2) : Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran

Pasal 4 ayat (3) : Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Undang-Undang tentang Pers memberi sanksi kepada mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan. Pasal 18 Undang-Undang tentang Pers menyatakan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.”

Dalam Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers juga disebutkan bahwa pers harus bisa menjalankan fungsi kontrol perilaku, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang menjadi keprihatinan publik. Dengan adanya peran pers sebagai sebuah mekanisme pengawasan terhadap pemerintah, jika terjadi kesalahan pada pemerintah, pers juga mampu menggerakkan masa untuk dapat melakukan perubahan.

Dalam suasana liberalisme seperti sekarang, Pers kemudian tidak lagi sebebas sebelumnya. Undang-undang menjamin kebebasan pers, akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit wartawan yang kemudian dipenjarakan, diintimidasi, disiksa bahkan ada yang dibunuh.

Di banyak daerah, wartawan yang melakukan kesalahan administratif diadili di lembaga peradilan umum, terjadi kriminalisasi pers. Di masa Reformasi pun, pers pada kenyataannya tidak lagi bebas. Pasal pencemaran nama baik dalam KUHP juga selalu digunakan sebagai senjata untuk membungkam pers. Hak jawab selalu diabaikan bila merasa tidak puas dengan pemberitaan.

Dalam perkembangannya, Pers sebagai pilar keempat demokrasi tidak lagi mewakili kaum Pers yang semula diwakili para wartawan/jurnalis dan redaktur/editor, yang berpengaruh dan punya pendapat objektif untuk kemaslahatan masyarakat, namun sudah dikuasai oleh penerbit atau pemilik/pengusaha, kapitalis atau investor yang datang dari luar industri pers, kaum politisi, yang melihat pers lebih sebagai alat untuk mencari keuntungan atau menunjang kekuasaan politik.

Harapan untuk Pers Nasional: Kebebasan Pers untuk memberikan informasi kepada masyarakat jangan menjadi tidak terbatas dan tanpa memperhatikan norma-norma sosial, kesopanan, dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, kebebasan pers harus sesuai dan sebangun dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat sehingga kebebasan pers tidak kebablasan.

Kebebasan Pers bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Ini berarti bahwa kewajiban moril pers dalam memberitakan segala sesuatu yang faktual bukanlah kewajiban moril tanpa batas. Untuk itu pers nasional diharapkan tetap kritis, edukatif, profesional, handal, berwibawa dan bebas dari intervensi negara maupun rongrongan pemilik modal.

Pekerja Pers di Indonesia perlu meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya. Pengalaman Indonesia menikmati kebebasan pers yang masih pendek ternyata belum mampu mematangkan peran pers sebagai salah satu pilar demokrasi Indonesia. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

REDAKSI: JL. MINANGKABAU TIMUR NO. 19 A, KEL. PS. MANGGIS, KEC. SETIABUDI KOTA JAKARTA SELATAN - WA: 0856 9118 1460  
EMAIL: [email protected]
NKRIPOSTCO ©Copyright 2024 | All Right Reserved